“Serigala Kian Lapar yang tersisa dari domba hanyalah tulang”
Belanda yang masih ingin melanggengkan kekuasaannnya di Indonesia berusaha mencari dalih dan celah agar dapat mengingkari perjanjian yang telah disepakati. Saat diadakannya perjanjian Linggarjati Belanda mengingkarinya dengan melancarkan Agresi militer yang pertama kepada bangsa Indonesia. Kemudian datang Dewan Keamanan PBB melalui KTN (Komisi Tiga Negara) kemudian tercetuslah sebuah perjanjian yang diadakan di pelabuhan Jakarta di sebuah kapal Amerika USS Renville.
Dengan menyepakati adanya gencatan senjata di sepanjang garis demarkasi atau dikenal dengan Garis Van Mook yakni suatu garis buatan yang menghubungkan titik-titik terdepan pihak Belanda walaupun dalam kenyataannya masih tetap ada banyak daerah yang dikuasai pihak Republik di dalamnya (M.C.Rickleffs,1998,340). Hal tersebut merupakan sejarah Perjanjian Renville.
Awal Mula
Tanggal 18 Desember 1948 pukul 23.30, siaran radio antara dari Jakarta menyebutkan, bahwa besok paginya Wakil Tinggi Mahkota Belanda, Dr. Beel, akan mengucapkan pidato yang penting.
Sementara itu Jenderal Spoor yang telah berbulan-bulan mempersiapkan rencana pemusnahan TNI memberikan instruksi kepada seluruh tentara Belanda di Jawa dan Sumatra untuk memulai penyerangan terhadap kubu Republik. Operasi tersebut dinamakan “Operasi Kraai” .
Pukul 2.00 pagi 1e para-compgnie (pasukan para I) KST di Andir memperoleh parasut mereka dan memulai memuat keenambelas pesawat transportasi, dan pukul 3.30 dilakukan briefing terakhir. Pukul 3.45 Mayor Jenderal Engles tiba di bandar udara Andir, diikuti oleh Jenderal Spoor 15 menit kemudian. Dia melakukan inspeksi dan mengucapkan pidato singkat. Pukul 4.20 pasukan elit KST di bawah pimpinan Kapten Eekhout naik ke pesawat dan pukul 4.30 pesawat Dakota pertama tinggal landas. Rute penerbangan ke arah timur menuju Maguwo diambil melalui Lautan Hindia. Pukul 6.25 mereka menerima berita dari para pilot pesawat pemburu, bahwa zona penerjunan telah dapat dipergunakan. Pukul 6.45 pasukan para mulai diterjunkan di Maguwo.
Seiring dengan penyerangan terhadap bandar udara Maguwo, pagi hari tanggal 19 Desember 1948, WTM Beel berpidato di radio dan menyatakan, bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Perjanjian Renville. Penyerbuan terhadap semua wilayah Republik di Jawa dan Sumatra, termasuk serangan terhadap Ibukota RI, Yogyakarta, yang kemudian dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II telah dimulai. Belanda konsisten dengan menamakan agresi militer ini sebagai “Aksi Polisional”.
Penyerangan terhadap Ibukota Republik, diawali dengan pengeboman atas lapangan terbang Maguwo, di pagi hari. Pukul 05.45 lapangan terbang Maguwo dihujani bom dan tembakan mitraliur oleh 5 pesawat Mustang dan 9 pesawat Kittyhawk. Pertahanan TNI di Maguwo hanya terdiri dari 150 orang pasukan pertahanan pangkalan udara dengan persenjataan yang sangat minim, yaitu beberapa senapan dan satu senapan anti pesawat 12,7. Senjata berat sedang dalam keadaan rusak. Pertahanan pangkalan hanya diperkuat dengan satu kompi TNI bersenjata lengkap. Pukul 06.45, 15 pesawat Dakota menerjunkan pasukan KST Belanda di atas Maguwo. Pertempuran merebut Maguwo hanya berlangsung sekitar 25 menit. Pukul 7.10 bandara Maguwo telah jatuh ke tangan pasukan Kapten Eekhout. Di pihak Republik tercatat 128 tentara tewas, sedangkan di pihak penyerang, tak satu pun jatuh korban.
Sekitar pukul 9.00, seluruh 432 anggota pasukan KST telah mendarat di Maguwo, dan pukul 11.00, seluruh kekuatan Grup Tempur M sebanyak 2.600 orang –termasuk dua batalyon, 1.900 orang, dari Brigade T- beserta persenjataan beratnya di bawah pimpinan Kolonel D.R.A. van Langen telah terkumpul di Maguwo dan mulai bergerak ke Yogyakarta.
Serangan terhadap kota Yogyakarta juga dimulai dengan pengeboman serta menerjunkan pasukan payung di kota. Di daerah-daerah lain di Jawa antara lain di Jawa Timur, dilaporkan bahwa penyerangan bahkan telah dilakukan sejak tanggal 18 Desember malam hari.
Segera setelah mendengar berita bahwa tentara Belanda telah memulai serangannya, Panglima Besar Soedirman mengeluarkan perintah kilat yang dibacakan di radio tanggal 19 Desember 1948 pukul 08.00.
Soedirman dalam keadaan sakit melaporkan diri kepada Presiden. Soedirman didampingi oleh Kolonel Simatupang, Komodor Suriadarma serta dr. Suwondo, dokter pribadinya. Kabinet mengadakan sidang dari pagi sampai siang hari. Karena merasa tidak diundang, Jenderal Soedirman dan para perwira TNI lainnya menunggu di luar ruang sidang. Setelah mempertimbangkan segala kemungkinan yang dapat terjadi, akhirnya Pemerintah Indonesia memutuskan untuk tidak meninggalkan Ibukota. Mengenai hal-hal yang dibahas serta keputusan yang diambil dalam sidang kabinet tanggal 19 Desember 1948. Berhubung Soedirman masih sakit, Presiden berusaha membujuk supaya tinggal dalam kota, tetapi Sudirman menolak. Simatupang mengatakan sebaiknya Presiden dan Wakil Presiden ikut bergerilya. Menteri Laohmengatakan bahwa sekarang ternyata pasukan yang akan mengawal tidak ada. Jadi Presiden dan Wakil Presiden terpaksa tinggal dalam kota agar selalu dapat berhubungan dengan KTN sebagai wakil PBB. Setelah dipungut suara, hampir seluruh Menteri yang hadir mengatakan, Presiden dan Wakil Presiden tetap dalam kota.
Sesuai dengan rencana yang telah dipersiapkan oleh Dewan Siasat, yaitu basis pemerintahan sipil akan dibentuk di Sumatra, maka Presiden dan Wakil Presiden membuat surat kuasa yang ditujukan kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran yang sedang berada di Bukittinggi. Presiden dan Wakil Presiden mengirim kawat kepada Syafruddin Prawiranegara di Bukittinggi, bahwa ia diangkat sementara membentuk satu kabinet dan mengambil alih Pemerintah Pusat. Pemerintahan Syafruddin ini kemudian dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia. Selain itu, untuk menjaga kemungkinan bahwa Syafruddin tidak berhasil membentuk pemerintahan di Sumatra, juga dibuat surat untuk Duta Besar RI untuk India, dr. Sudarsono, serta staf Kedutaan RI, L. N. Palar dan Menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis yang sedang berada di New Delhi.
Empat Menteri yang ada di Jawa namun sedang berada di luar Yogyakarta sehingga tidak ikut tertangkap adalah Menteri Dalam Negeri, dr. Sukiman, Menteri Persediaan Makanan,Mr. I.J. Kasimo, Menteri Pembangunan dan Pemuda, Supeno, dan Menteri Kehakiman, Mr. Susanto. Mereka belum mengetahui mengenai Sidang Kabinet pada 19 Desember 1948, yang memutuskan pemberian mandat kepada Mr. Syafrudin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah Darurat di Bukittinggi, dan apabila ini tidak dapat dilaksanakan, agar dr. Sudarsono, Mr. Maramis dan L.N. Palar membentuk Exile Government of Republic Indonesia di New Delhi, India.
Pada 21 Desember 1948, keempat Menteri tersebut mengadakan rapat dan hasilnya disampaikan kepada seluruh Gubernur Militer I, II dan III, seluruh Gubernur sipil dan Residen di Jawa, bahwa Pemerintah Pusat diserahkan kepada 3 orang Menteri yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehakiman, Menteri Perhubungan.
Selain itu tentara Belanda alam serangannya juga menawan Syahrir, Agus Salim, Mohammad Roem serta A.G. Pringgodigdo. Yang oleh Belanda Lekas diberangkatkan ke pengasingan di Prapat Sumatra dan pulau Bangka, namun sebelum diasingkan Presiden Sokarno memberikan surat kuasa kepada Safrudin Prawiranegara yang berada di Bukit Tinggi untuk mendirikan pemerintahan darurat. Menteri lainnya yang berada di Jawa namun sedang berada di luar Yogyakarta sehingga tidak ikut tertangkap ialah sebagai berikut.
- Menteri Dalam Negeri, dr. Sukiman,
- Menteri Persediaan Makanan,Mr. I.J. Kasimo,
- Menteri Pembangunan dan Pemuda, Supeno, dan
- Menteri Kehakiman, Mr. Susanto.
Menurut Kahin (2013) Belanda melakukan beberapa strategi untuk menghadapi bangsa Indonesia yang mulai ditetapkan pada akhir tahun 1948 yang dikenal sebagai strategi tiga sisi, berikut penjelasannya.
- Pertama, Belanda berharap dengan menerapkan kekuatan militer secukupnya agar dapat menghancurkan Republik dan Militer Indonesia secara menyeluruh.
- Kedua, menjadikan bangsa Indonesia sebagai Negara Federal Serikat demi melaksanakan program pemecah belah bangsa atau politik adu domba (devide et impera)
- Yang ketiga, Belanda berharap bangsa Indonesia akan mendapatkan sanksi internasional melalui pemberian kedaulatan pada federasi Indonesia yang dikuasai oleh Belanda secara tidak langsung.
Dengan Agresi Militer kedua yang dilancarkan pihak Belanda, hal tersebut dianggap sebagai sebuah kemenangan besar yang diperoleh Belanda. Sebab dapat menawan pucuk pimpinan bangsa Indonesia, namun hal tersebut menuai kecaman luar biasa yang tak diduga sebelumnya oleh pihak Belanda. Terutama dari pihak Amerika Serikat yang menunjukan rasa simptinya terhadap bangsa Indonesia dengan memberi pernyataan, sebagaimana berikut.
- Jika Belanda masih saja melakukan tindakan militer terhadap bangsa Indonnsia, Amerika Serikat akan menghentikan segala bantuan yang diberikan pada pemerintah Belanda
- Mendorong Belanda untuk menarik pasukannya berada dibelakang garis status quo renville
- Mendorong dibebaskannya pemimpin Bangsa Indonesia oleh Belanda
- Mendesak agar Belanda dibuka kembali sebuah perundingan yang jujur berdasarkan perjanjian Renville
Tujuan Agresi Militer
Agresi militer yang dilancarkan oleh Belanda terhadap bangsa Indonesia memiliki tujuan untuk memperlihatkan pada dunia Internasional bahwa Republik Indonesia dan tentaranya TKR itu sesungguhnya sudah tidak ada. Dengan begitu Belanda memiliki hak untuk berbuat semaunya terhadap bangsa Indonesia. Menurut Ide Anak Agung Gde Agung (1983, 183), Ada dua alasan utama mengapa Beel melancarkan agresi militer tersebut, yakni sebagai berikut:
- Menghancurkan Republik yang merupakan suatu kesatuan sistem ketatanegaraan,
- Membentuk Pemerintah Interim Federal yang didasarkan atas Peraturan Pemerintahan dalam Peralihan,
- Wakil-wakil dari daerah-daerah federal dan unsur-unsur yang kooperatif dan moderat dari bekas Republik harus ikut ambil bagian dalam PIF tanpa mewakili bekas Republik.
Sumber :