Dampak Perubahan Iklim pada Kesehatan Anak-Anak

11
0

Perubahan iklim telah menyebabkan pola penyakit berubah dan berdampak pada kesehatan manusia. Oleh karena itu, upaya mitigasi harus ditingkatkan untuk melindungi manusia dan lingkungan dari dampak perubahan iklim.

Nyamuk Aedes aegypti merupakan salah satu jenis nyamuk yang paling berbahaya dan mematikan di dunia. Penyebaran penyakit yang ditularkan oleh vektor seperti demam dengue dan malaria telah mengalami perubahan karena akibat dari perubahan iklim.

Jangan salah pikir jika kita merasa aman dari ancaman perubahan iklim. Dampaknya tidak hanya akan terjadi pada masa depan, tetapi juga terjadi saat ini. Jadi, kita harus berhati-hati dan bertanggung jawab dalam menghadapi pergantian iklim agar tidak semakin parah.

Perubahan iklim berdampak nyata pada sektor kesehatan

dampak perubahan iklim
Nyamuk Aedes aegypti

Kita bisa merasakan perubahan pada cara penyebaran penyakit. Kita bisa mempertimbangkan kapan terakhir kali kita mengalami musim demam berdarah atau flu.

Penyakit demam berdarah dan flu biasanya muncul pada musim hujan. Namun, dengan pola iklim yang tidak menentu saat ini, penyakit-penyakit tersebut dapat muncul sepanjang tahun.

Menurut informasi dari Kementerian Kesehatan, dalam lima tahun terakhir, kasus demam berdarah dengue tidak menunjukkan peningkatan atau penurunan yang signifikan sepanjang tahun. Jumlah kasus yang ditemukan relatif sama sepanjang tahun.

Ketidakpastian iklim saat ini dengan pola musim hujan yang tidak menentu telah menyebabkan penyakit seperti demam berdarah dengue muncul sepanjang tahun.

ARTIKEL TERKAIT •
Curhatan Seorang Warga Yang Bertahan di Tengah Lingkungan Terinfeksi Virus Corona

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa musim pancaroba dapat memengaruhi penyebaran penyakit menular yang berasal dari serangga, seperti demam dengue dan nyamuk yang menyebabkan malaria.

Menurut Laporan Kementerian Kesehatan bersama Unicef, BMKG, dan Speak pada tahun 2021, perubahan iklim dapat mempercepat laju replikasi virus, mempersingkat durasi inkubasi ekstrinsik (EIP), serta mempercepat pertumbuhan nyamuk karena peningkatan suhu.

Penyebaran parasit karena kenaikan suhu

Kenaikan suhu dapat mempercepat penyebaran parasit dan meningkatkan kecepatan penularan malaria. Hal ini karena masa inkubasi parasit yang semakin singkat. Selain itu, perubahan suhu juga dapat mempengaruhi luas wilayah penyebaran nyamuk.

Kelembaban udara mempengaruhi hidup dan kebiasaan gigitan nyamuk. Nyamuk di lingkungan dengan kelembaban tinggi akan menjadi lebih aktif dan sering menggigit. Perubahan iklim menyebabkan peningkatan kelembaban udara.

Menurut Direktur Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan, Anas Maruf, sektor kesehatan dapat terdampak oleh pergantian iklim, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dampaknya tidak hanya terasa pada kesehatan fisik, tetapi juga pada kesehatan mental. Hal ini tentu akan menjadi beban kesehatan masyarakat.

Menurut sebuah laporan yang terbit pada Desember 2021 berjudul “Data dan Informasi Dampak Perubahan Iklim Sektor Kesehatan Berbasis Bukti di Indonesia”, terjadi peningkatan jumlah kasus malaria dari tahun ke tahun di Indonesia, dari tahun 2015 hingga 2023. Pada tahun 2015, terdapat 213.569 kasus, dan meningkat menjadi 218.367 pada tahun 2016. Peningkatan terus terjadi hingga mencapai 254.050 kasus pada tahun 2023.

ARTIKEL TERKAIT •
Kenali Gejala Anak Mengalami Pneumonia, Orang Tua Harus Tau

Data menunjukkan bahwa laporan kasus dengue di Indonesia mengalami peningkatan. Biasanya kasus dengue yang cukup tinggi terjadi di wilayah yang memiliki tingkat curah hujan yang tinggi.

Indonesia bisa mengalami kerugian besar dari PDB Nasional

Menurut Peta Jalan NDC (Nationally Determined Contribution) 2021, memperkirakan Indonesia akan mengalami kerugian sebesar 1,86 persen dari PDB (produk domestik bruto) nasional atau senilai 21,6 miliar dolar AS akibat peningkatan jumlah penyakit terkait iklim seperti dengue, malaria, diare, dan malaria pada periode 2021-2050. Jika tidak segera mengambil tindakan, perubahan iklim akan berdampak buruk pada kesehatan generasi mendatang dan akan menjadi beban bagi sistem kesehatan nasional.

Kementerian Kesehatan telah membuat peraturan bernomor 35/2012 yang menetapkan Pedoman Identifikasi Faktor Risiko Kesehatan akibat Perubahan Iklim. Peraturan ini mengidentifikasi empat kelompok penyakit prioritas yang dapat disebabkan oleh perubahan iklim, yaitu: penyakit yang ditularkan oleh vektor seperti malaria dan dengue, penyakit yang ditularkan melalui air seperti diare, dan penyakit yang ditularkan melalui udara seperti pneumonia, ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut), dan tuberkulosis.

ARTIKEL TERKAIT •
5 Penyakit yang Disebabkan oleh Tikus

Salah satu kelompok penyakit yang menjadi prioritas akibat perubahan iklim adalah malnutrisi, yang mencakup tengkes atau stunting (masalah pertumbuhan akibat kekurangan gizi yang kronis), wasting (kurus atau berat badan di bawah standar pertumbuhan anak), penurunan berat badan, dan underweight (berat badan di bawah standar pertumbuhan anak).

5 Jenis Penyakit yang Berhubungan dengan Perubahan Iklim

Hingga saat ini, pemerintah telah menetapkan lima jenis penyakit yang berhubungan dengan perubahan iklim untuk diteliti lebih lanjut. Kelima jenis penyakit tersebut adalah tuberkulosis, pneumonia, diare, malaria, dan dengue.

Anas mengungkapkan bahwa perubahan iklim dapat menyebabkan bencana alam yang berdampak tidak hanya pada manusia, tetapi juga pada fasilitas kesehatan dan sistem kesehatan nasional. Bencana seperti longsor atau gempa bumi dapat merusak infrastruktur fasilitas kesehatan.

Frans Pati Herin, seorang wartawan dari Kompas, menjalani pemeriksaan darah untuk mengetahui apakah ia terinfeksi parasit malaria. Dia melakukan pemeriksaan di Bintuni, Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat pada tanggal 1 September 2019 dengan dibantu oleh juru malaria kampung. Peningkatan kasus malaria di daerah tersebut mungkin karena perubahan iklim yang terjadi.

Bencana seringkali mempengaruhi sistem perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi layanan kesehatan. Perubahan iklim juga menjadi kendala dalam upaya pemberantasan penyakit endemis seperti dengue dan malaria di Indonesia.

ARTIKEL TERKAIT •
WHO Belum Menyatakan Virus Corona Sebagai Pandemi

Salah satu dampak perubahan iklim yang paling terlihat adalah perubahan dalam pola penyakit yang rentan terhadap perubahan iklim. Hal ini karena dampak perubahan iklim, seperti polusi udara, yang dapat meningkatkan kejadian penyakit seperti asma, pneumonia atau radang paru, dan ISPA. Selain itu, perubahan iklim juga menyebabkan perubahan dalam ekologi vektor yang mempengaruhi peningkatan kasus penyakit seperti malaria, dengue, dan chikungunya.

Perubahan iklim berdampak pada ketersediaan air dan pangan yang dapat memperparah masalah diare dan malnutrisi. Selain itu, suhu ekstrem dapat menyebabkan kematian dan mempengaruhi kesehatan mental. Jika kualitas air terdampak, maka akan memperburuk penyebaran kolera dan leptospirosis.

Dampak perubahan iklim sangat rentan pada anak-anak

Menurut Kurniawan Taufiq Khadafi, Ketua Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Pengurus Besar Ikatan Dokter Anak Indonesia, anak-anak adalah kelompok usia yang paling rentan terkena dampak perubahan iklim. Ketika suhu sangat panas atau sangat dingin, bayi berisiko mengalami kematian secara tiba-tiba.

Jumlah anak yang mengalami kecacatan karena suhu yang sangat panas semakin meningkat. Sementara itu, ketika suhu sangat dingin, anak-anak rentan terkena hipotermia yang bisa membahayakan nyawa. Pemanasan global juga mempengaruhi kecukupan pangan di daerah yang mengalami kekeringan atau curah hujan yang ekstrem.

ARTIKEL TERKAIT •
Agar Jantung Sehat, Kurangi Konsumsi 7 Makanan Ini

Kurniawan menyatakan bahwa kondisi ini mengancam ketersediaan stok cadangan pangan dan menyulitkan akses makanan. Hal ini mengakibatkan semakin banyak anak yang mengalami kekurangan gizi.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sangat prihatin dengan dampak perubahan iklim terhadap kesehatan. WHO bahkan telah mengeluarkan seruan pada 23 Mei 2023 untuk mendorong tindakan global dalam mengatasi hal tersebut.

Menurut Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, alasan paling mendesak untuk bertindak cepat dalam mengatasi perubahan iklim adalah dampaknya terhadap kesehatan yang terjadi saat ini, bukan di masa depan. Krisis iklim telah menjadi krisis kesehatan yang memicu wabah, meningkatkan tingkat penyakit tidak menular, serta membebani tenaga dan infrastruktur kesehatan kita.

Oleh karena itu, kita perlu melakukan tindakan yang dapat mengurangi dampak krisis iklim dan meningkatkan ketahanan terhadapnya. Kita harus mengurangi emisi karbon, membangun sistem kesehatan yang ramah lingkungan dan kuat terhadap perubahan iklim, serta melindungi kesehatan dari dampak yang mungkin terjadi.

Perlunya Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan

Dalam hal ini, perlu adanya pemanfaatan sumber energi terbarukan di fasilitas kesehatan dan alokasi dana khusus untuk memperkuat ketahanan iklim di sektor kesehatan.

Anas menyatakan bahwa ada beberapa aturan yang telah berjalan untuk memperkuat kolaborasi dalam upaya mengurangi dampak perubahan iklim. Salah satunya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2014 tentang Kesehatan Lingkungan yang mengharuskan pemerintah pusat, provinsi, kabupaten atau kota untuk menetapkan kebijakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim terkait kesehatan.

ARTIKEL TERKAIT •
3 Jenis Masker Mulut yang Perlu Kamu Ketahui

Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan peraturan turunan melalui Peraturan Menteri Kesehatan No. 2 tahun 2023 mengenai pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 66 tahun 2014 tentang kesehatan lingkungan.

Parasit Malaria yang paling berbahaya

Parasit malaria yang paling berbahaya yaitu Plasmodium falciparum, kita dapat melihatnya hanya dengan menggunakan mikroskop. Informasi ini didokumentasikan oleh University of South Florida.

Sebuah gerakan baru yang sedang mulai berjalan adalah desa sehat iklim yang terintegrasi dengan program kampung iklim dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Gerakan ini bertujuan untuk membantu warga desa lebih siap dalam menghadapi perubahan iklim terutama dalam hal kesehatan.

Saat ini hanya ada 18 desa yang menjadi contoh dari gerakan desa sehat iklim. Tujuannya adalah agar sekitar 11.000 desa di seluruh Indonesia, atau 15 persen dari total desa, dapat menerapkan gerakan tersebut.

Fasilitas kesehatan didorong untuk mengurangi emisi karbon dan menghemat energi dengan mengurangi penggunaan listrik. Perubahan iklim memiliki dampak yang nyata pada sektor kesehatan dan kita harus bekerja sama untuk menyelamatkan lingkungan dan manusia. Anas mengutarakan hal ini dengan tegas.

Tinggalkan Balasan