Pemberian gelar jenderal kehormatan oleh Joko Widodo kepada Prabowo Subianto ternyata menimbulkan perdebatan. Begini informasi selengkapnya.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menciptakan peristiwa bersejarah bagi Prabowo Subianto dengan memberikan penghargaan gelar jenderal kehormatan kepada Prabowo Subianto.
Dia tidak mempertanyakan riwayat masa lalu Prabowo yang penuh dengan kontroversi, terutama saat Indonesia sedang mengalami peralihan dari rezim otoriter Orde Baru ke era demokratisasi.
Jokowi pada dasarnya adalah seorang presiden yang terpilih melalui proses demokratisasi. Dia terpilih secara langsung oleh rakyat dan terkenal sebagai pemimpin yang berasal dari lapisan masyarakat biasa, bukan dari kalangan elit. Namun, dalam periode kedua pemerintahannya, terjadi beberapa skandal.
Perdebatan Pemberian Gelar Kehormatan Kepada Prabowo
Meskipun tidak secara jelas menyebutkan konspirasi secara langsung, tetapi orang-orang yang terlibat atau mendapat keuntungan dari munculnya skandal tersebut terhubung dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sebagai contoh, skandal etika di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan Anwar Usman, adik ipar Jokowi.
Keputusan Anwar Usman kemudian menguntungkan Gibran Rakabuming Raka atau Gibran untuk menjadi calon wakil presiden atau cawapres Prabowo Subianto. Gibran adalah anak sulung Jokowi. Kontroversi ini terus berlanjut dengan berlakunya sanksi yang keras kepada Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hasyim Asy’ari.
Jokowi kembali menciptakan kontroversi dengan memberikan gelar jenderal kehormatan kepada Prabowo Subianto. Menurut Jokowi, keputusannya sesuai dengan prosedur yang berlaku dan juga berdasarkan atas usulan dari Panglima TNI.
Alasan Presiden Jokowi Anugerahkan Gelar Kehormatan
Pada hari Rabu yang lalu, Jokowi mengungkapkan persetujuannya terhadap usulan Panglima TNI untuk memberikan kenaikan pangkat yang istimewa kepada Jenderal TNI Kehormatan.
Sepanjang kariernya di militer, Prabowo merupakan tokoh yang penuh dengan kontroversi. Banyak yang menghubungkannya dengan pelanggaran hak asasi manusia, terutama terkait dengan tindakan paksa terhadap sejumlah aktivis pro demokrasi pada masa transisi kekuasaan pada tahun 1998 atau saat reformasi berlangsung.
Di samping itu, Prabowo juga telah dipecat dari dinas militer karena kontroversi kasus penculikan terhadap aktivis-aktivis yang mendukung demokrasi. Penyelenggara sejarah dan mantan Panglima ABRI, Jenderal TNI Wiranto, adalah orang yang menghentikan Prabowo dari dinas militer.
Saat ini Wiranto dan beberapa jenderal yang terlibat dalam pemecatan mantan Pangkostrad tersebut bahkan beberapa korban penculikan tahun 1998 telah menjadi pendukung Prabowo dalam pertarungan Pilpres 2024.
Di samping itu, pihak Mabes TNI juga menjelaskan bahwa Prabowo tidak alami pemecatan, melainkan adanya pemberhentian dengan penghormatan dalam konteks peristiwa tahun 1998.
Wiranto Berbicara Tentang Prabowo
Pada tahun 2014, Wiranto mengadakan konferensi pers mengenai keputusan Dewan Kehormatan Perwira pada tahun 1998 yang menghentikan Letjen Prabowo Subianto dari jabatan Pangkostrad.
Wiranto mengklarifikasi kontroversi mengenai apakah Prabowo diberhentikan dengan penghormatan atau tidak penghormatan dari dinas kemiliteran. Saat itu, ia meminta masyarakat untuk tidak mempermasalahkan status pemberhentian Prabowo.
Pemberhentian Pak Prabowo sebagai Pangkostrad karena adanya keterlibatannya dalam kasus penculikan saat ia menjabat sebagai Danjen Kopassus. Tindakan tersebut melanggar Saptamarga, Sumpah Prajurit, etika keprajuritan, dan beberapa pasal KUHP.
Fakta ini sudah cukup untuk menentukan status pemberhentiannya, dan masyarakat dapat menilai sendiri. Demikian yang Wiranto sampaikan.
Wiranto menyatakan bahwa dalam merespon pertanyaan tersebut, dia tidak berbicara sebagai ketua umum partai politik, melainkan sebagai mantan Menteri Hankam dan juga Panglima ABRI.
Wiranto menyatakan dalam konferensi pers bahwa ia tidak berniat untuk terlibat dalam pembahasan mengenai istilah-istilah pemberhentian dengan atau tanpa hormat. Bagaimanapun juga, dalam hal seorang prajurit telah mengalami pemecatan dari tugasnya dalam militer, pasti ada alasan yang jelas dan valid.
Oleh karena itu, menurut Wiranto, ada pemahaman bahwa berhenti “dengan hormat” berarti ketika seseorang telah selesai masa dinasnya dan meninggal dunia. Selain itu, mengalami sakit parah yang menghalangi pelaksanaan tugas, cacat karena operasi tempur atau kecelakaan, atau karena permintaan sendiri.
Pemberhentian Tugas Karena Pelibatan Konflik
Apabila seseorang mengalami pemecatan tidak dengan penghargaan, itu karena adanya tindakan yang melanggar Saptamarga dan Sumpah Prajurit atau melanggar hukum. Oleh karena itu, dia tidak pantas lagi menjadi seorang prajurit TNI yang menjunjung tinggi dan mempertahankan kejujuran, kebenaran, dan keadilan.
Menurutnya, sebagai Panglima ABRI pada saat itu, dia membentuk DKP karena ada aturan dalam TNI. Aturan tersbut adalah bahwa jika ada Perwira Menengah atau Tinggi terlibat dalam kasus yang serius, maka Panglima tidak dapat secara langsung membuat keputusan yang mungkin ada pengaruh dari kepentingan pribadi. Maka dari itu, terbentuklah DKP.
“Saat terjadi penculikan aktivis pada tahun 1998, saya sebagai Panglima ABRI membentuk DKP untuk memastikan sejauh mana Pangkostrad terlibat dalam kasus tersebut,” kata Wiranto.
Kemudian, dia menyatakan bahwa dalam kenyataannya DKP telah memastikan melalui sidang yang adil. Sidang tersebut berisi bahwa Pangkostrad (Prabowo) terlibat dalam kasus penculikan ketika dia menjabat sebagai Danjen Kopassus.
Kemudian, DKP mengusulkan agar Prabowo harus berhenti dari tugasnya di militer. Sementara itu, Tim Mawar yang bertanggung jawab atas operasi lapangan akan melanjutkan proses di Pengadilan Mahkamah Militer.
Kelompok Masyarakat Sipil dalam Koalisi Sipil mengkritik pemberian gelar jenderal kehormatan kepada Prabowo karena menganggap dapat merusak reputasi dan citra TNI.
Jane Rosalina Rumpia, kepala Divisi Impunitas KontraS, berpendapat bahwa keputusan Presiden Jokowi untuk memberikan pangkat kehormatan jenderal (HOR) bintang empat kepada Prabowo Subianto adalah kesalahan yang menyakiti para korban reformasi 1998.
Menurut pendapatnya, Prabowo tidak layak mendapatkan gelar tersebut karena dia pernah terlibat dalam kasus pelanggaran HAM yang serius di masa lalu.
Menurutnya, pemberian gelar tersebut sebenarnya hanya merupakan strategi politik dari Presiden Joko Widodo untuk memperoleh dukungan dalam pemilihan umum, dan juga sebagai cara untuk menghilangkan keterlibatannya dalam pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di masa lalu.
Baca juga:
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.