OpiniPedia

Fanatisme dan Kebutuhan Untuk Percaya

Bebaspedia – Jika ditanya apa hal yang paling menjengkelkan di dunia, maka tanpa segan saya akan menjawab bahwa itu adalah fanatisme. Fanatisme buta yang seringkali berujung pada anarkisme dan radikalisme. My boy berkata bahwa banyak pelaku fanatisme ini disejajarkan dengan orang yang secara kuantitatif memiliki sedikit pengetahuan terhadap apa yang membuatnya fanatik. Namun, tidak sedikit pula orang yang telah berkenalan dengan banyak agama, ideologi, pemikiran, dan secara kuantitatif memiliki banyak pengetahuan juga mengalami gejala fanatisme. Sebaliknya, banyak orang-orang dari daerah yang sedikit tersentuh modernisme, tidak terlibat kemajuan dunia digital, tidak mengikuti para pemikir justru memiliki rasa toleran yang tinggi. Melakukan apa saja yang berbeda dari kepercayaannya tanpa terkekang label can and cannot.

Sebuah fakta ironis, di zaman kebebasan seperti ini fanatisme kebanyakan datang dari kalangan fanatik agama yang menjadi fanatik sebab bingung ketika dihadapkan pada banyaknya pilihan agama yang bisa dianutnya. Bukannya kebebasan membuat wawasan mereka semakin luas dan semakin banyak mengetahui isme-isme lain yang bisa membuat mereka semakin memahami dan toleran dengan berbagai ragam cara pandang dan cara hidup, mereka justru semakin terkurung dan tak mau membuka diri.

Nyatanya, bukan soal kuantitas pengetahuan lah yang melahirkan fanatisme itu, melainkan mekanisme internal kebutuhan untuk percaya yang ada pada individu itu sendiri. Soal apakah seseorang akan menjadi fanatik atau relativistik ditentukan oleh pengaruh psikologis yang dialami seseorang terhadap apa yang ia percayai itu. Yang dalam hal ini, kualitas kehendak (kehendak, dalam hal ini adalah hal terdalam dari manusia, pemikiran, afeksi, rangsangan motorik, kemampuan memerintah diri sendiri) mengambil peranan penting, semakin cacat kualitas kehendak seseorang, maka semakin besar kebutuhannya untuk kepercaya, dan kuantitas sedikit banyaknya isi kepercayaan itu tak lagi berpengaruh pada fanatisme yang menyeruak dari individu seperti itu.

Kebutuhan untuk percaya adalah kebutuhan akan sandaran stabil yang bisa menemukan wujudnya dalam berbagai bentuk. Kepercayaan, dalam hal ini bukan lagi sekedar agama dan sejenisnya, melainkan sudah melingkupi segala aspek kehidupan; agama, sains, filsafat, patriotisme, bahkan juga atheisme. Fanatisme bukan lagi soal isi kepercayaan, itu semua bersifat eksternal, bisa digonta-ganti. Orang fanatik bisa ditemukan dimana saja, di kalangan agamawan sampai saintis, dari kalangan wibu sampai kpopers.

Dan kemudian timbul sebuah pertanyaan, bagaimana mungkin mereka bisa fanatik terhadap sesuatu yang secara akal sehat sama sekali tidak rasional? Bisa kita lihat bahwa masalahnya bukan lagi ada pada isi kepercayaannya, melainkan pada si pemeluk kepercayaan itu sendiri. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya butuh untuk percaya secara fanatik. Bila ada individu memiliki kebutuhan percaya yang begitu besar, maka kepercayaannya bisa berbentuk apa saja, tergantung apa yang ada di depannya. Bila yang dijumpai pertama adalah perkataan agamawan, maka ia secara otomatis akan menjadi fanatik agama, namun bila orang pertama yang memberi isi kepercayaan bagi kebutuhannya akan sandaran yang begitu besar adalah aktivis komunis, maka dia akan segera menjadi fanatik doktrin komunisme.

Lantas, kepada siapa saja kebutuhan untuk percaya ini datang? Ia adalah jiwa yang tercerai-berai yang tak mampu lagi menyatukan dirinya, ia adalah manusia yang bahkan tak mampu untuk memerintah dirinya sendiri, ia adalah kepala yang terkulai lemah, tak mampu mendongak dan membutuhkan penopang. Dan satu-satunya sandaran yang kokoh menopangnya hanyalah kepercayaan. Sebuah ‘kamu harus’ yang bisa membuatnya merasa tersatukan, yang membuatnya memiliki orientasi dan tahu harus berbuat apa.

Tetapi, seringkali kepercayaan yang memuaskan dahaga butuhnya ini datang dengan efek hipnotis yang melekat padanya. Tak peduli apakah ada tindakan aneh atau konyol dalam kepercayaan itu, ia tetap memandangnya sebagai sesuatu hal yang menakjubkan dan keren luar biasa. Itulah fanatisme, sebuah mekanisme sempurna dari penutupan mata dengan kacamata kuda, sedemikian hingga sudut pandang dibatasi dan difokuskan pada satu titik hingga melupakan realita yang ada. Orang yang butuh tuntunan, tak bisa menentukan arah hidupnya sendiri, yang kehendaknya cacat dan lemah hingga membutuhkan sesuatu dari luar untuk menopangnya, apabila diberikan penopang berbentuk kacamata kuda pun akan senang dan menganggapnya iman.

Jadi, sudah jelas para fanatik hanyalah orang-orang labil yang buta terhadap realita dan kerasionalan. Biasanya menjadikan objek fanatisme-nya sebagai pelampiasan dari depresi atau pencarian jati diri yang berakhir menyimpang. Apakah ini gangguan mental? Barangkali iya, barangkali tidak.

Related Posts