Berita palsu atau lebih dikenal dengan hoaks sudah bertumbuh-kembang di dalam kehidupan masyarakat Indonesia, bahkan mungkin di dunia. Penyebaran hoaks begitu cepat melintasi seluk-beluk kegiatan masyarakat, ditambah lagi dengan kecanggihan teknologi pada masa yang dikenal dengan era digital ini. Jaringan internet sudah marak digunakan, dipakai oleh semua kalangan tanpa adanya pembatasan yang jelas. Tidak peduli kamu yang generasi X, Y, atau generasi Z, semuanya telah mengenal internet dan menggunakannya.
Didukung dengan kecepatan jaringan internet, berbagai platform media sosial juga merambah. Mulai dari Facebook ini sendiri, yang telah memiliki banyak pengguna, Telegram, dan BBM. Lalu tumbuh lagi WhatsApp yang kini menjadi aplikasi chat yang banyak digunakan karena kemudahannya dan bebas iklan. Pada golongan milenial sendiri terkenal aplikasi Instagram yang memiliki berbagai fitur kekinian dan dipakai oleh publik figur di seluruh dunia.
Jaringan yang luas, kecepatan internet yang ngebut, dan didukung lagi dengan media sosial yang terus berkembang, hoaks dijadikan oleh orang yang tidak bertanggung jawab sebagai jurus untuk suatu kepentingan, ataupun karena alasan lain.
Hoaks hanyalah untuk mereka yang kurang membaca dan memilah informasi. Hoaks dengan mudah dapat diterima oleh masyarakat dikarenakan masyarakat Indonesia memiliki minat baca yang rendah. Beberapa pakar dan ahli yang melakukan penelitian mengatakan minat baca di Indonesia itu hanya sekitar 0,001%, itu artinya dari 1000 orang, hanya ada 1 satu orang yang benar-benar membaca,sangat rendah sekali.
Suasana hoaks yang bertebaran itu dapat kita rasakan pada media sosial kita. Ambil saja contohnya WhatsApp. Dari pengalaman pribadi aku, WA merupakan ladangnya hoaks. Dari segala rentang usia sudah menggunakan WA ini. Grup-grup dibuat dan hoaks disebar disana. Dari satu grup, diteruskan ke grup yang lain atau ke pengguna yang lain. Grup WA keluarga misalnya. Disana berkumpul anggota keluarga. Biasanya yang menyebarkan berita palsu itu dari kalangan orang tua kita. Yang mampusnya jika kalian nanti merupakan orang yang secara umur masih junior di dalam grup itu dan akhirnya, keluar grup menjadi pilihan.
Lalu, mengapa banyak penyebar hoaks itu dari kalangan orang tua kita? Seperti pertanyaan pada point kedua ini?
Yang pertama karena mereka dulu dibesarkan bukan pada zaman serba cepat seperti saat ini. Sehingga pada era ini, mereka akan gugup dengan gegap gempitanya zaman. Selain itu, faktor psikis mereka yang sudah menurun, kerja otak juga melambat, sehingga akan susah jika mereka melakukan pemilahan informasi. Alhasil, semua berita yang didapat, disebarkan dengan cepat agar banyak yang tahu, padahal berita tersebut tidaklah benar. Kemungkinan terakhir, mereka mungkin merasa sudah lebih dewasa, menganggap dirinya lebih tinggi dari yang lain, lebih berpengalaman atau senioritas. Pendapat-pendapat di atas juga sudah relevan terhadap beberapa penelitian yang telah dilakukan. Fakta lain juga mengungkapkan bahwasanya penyebar hoaks terbanyak itu berasal dari kalangan guru dan PNS. Iya, aku juga tahu mereka merupakan orang yang terdepan dalam pemikiran pastinya. Tapi, balik lagi kepada pendapat di atas tadi.
Jika golongan tua merupakan yang terbanyak dalam penyebaran hoaks, berarti golongan muda termasuk peluang yang minim saat tertembus hoaks. Alasannya berbalik arah terhadap golongan tua tadi. Selain itu, golongan muda juga jarang mengenyam informasi. Mereka disibukkan dengan game dan menjadi social climber di media sosialnya.
Jadi, bagaimana cara kita menyikapi hoaks tersebut? Terlebih lagi terhadap golongan tua kita?
Caranya dengan menaikkan minat baca masyarakat kita dahulu. Kenalkan kepada mereka kegiatan-kegiatan literasi yang ada, di dunia nyata maupun di media sosial. Grup-grup edukasi seperti Ebid ini juga harus bisa lebih berkembang lagi, hingga nanti dapat mengayomi pengguna media sosial kita. Terkhusus apabila kita menemui generasi tua kita menyebarkan hoaks, coba lakukan pendekatan. Nasehati mereka dengan fakta-fakta yang ada tanpa ada kesan menggurui. Mereka juga orang tua kita yang harus dihormati.
Jadi, yang muda yang mengambil langkah atau yang tua yang berubah?
Aku rasa dunia akan lebih indah jika kita bersama-sama melakukannya. Ini bukan lagi soal generasi muda atau tua, tetapi ini lebih dari itu. Sama-sama kita melangkah dan sama-sama juga kita berubah.
Sehabis pesta demokrasi Indonesia kemarin ini, marilah kita kembali lagi bersatu. Cegah hoaks, saatnya berpikir lebih jernih tanpa ada rasa curiga.
Damailah Indonesiaku.