Sesuai dengan judul, di sini saya akan mencoba mengulas mengapa Indonesia akhir-akhir ini cukup “baperan”. Yang mana kata baperan ini berasal dari kata baper dan merupakan kata gaul dari bawa perasaan. Tindakan baper ini merujuk kepada seseorang yang selalu memasukkan ke dalam hati setiap perkataan dan tindakan orang lain baik itu serius maupun bercanda.
Nah, ada beberapa point yang akan kita bahas mengenai Indonesia Baperan. Berikut ulasannya!
Baperan
Baper dapat terjadi di segala bidang, apalagi di bidan perbucinan. Namun, dalam konteks bernegara ada beberapa bidang yang saat ini membuat negara kita tercinta ini seperti bukan dirinya yang dahulu. Inilah yang menyebabkan maraknya jargon “Indonesia Baperan”.
Sebut saja politik yang selalu membuat kita bertengkar saat tahun pemilu, bahkan terbawa-bawa hingga tahun-tahun berikutnya hingga bertemu kembali dengan tahun pelimu eh, pemilu berikutnya. Walaupun politik merupakan hal yang seru untuk dibahas, tetapi saya di sini tidak membahas hal tersebut melainkan moderasi beragama di Indonesia raya tanah air beta.
Dalam perkembangannya, Indonesia terlahir dan besar dengan berbagai macam agama. Dan di dalam undang undangnya, mengakui 5 agama yaitu Islam, Kristen Protestan, Katholik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Akhir-akhir ini politik sudah menjadikan isu agama sebagai kendaraan mereka ke puncak kepemimpinan di Indonesia ini. Lalu timbul pertanyaan, apakah politik itu kotor? Ternyata tidak.
Politik itu diciptakan dengan tujuan yang baik. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, politik telah bertransformasi menjadi lebih rumit dan menciptakan orang-orang yang pandai bersilat lidah. Para politikus telah menciptakan meta dalam politik sehingga menjadikan politik tersebut menjadi sesuatu yang kotor.
Intinya, bukan politik yang salah melainkan orang-orang yang di dalamnya (politikus). Namun, sudah menjadi kebiasaan orang Indonesia untuk mengeneralisir masalah. AC mobil kurang dingin, pasti yang disebut adalah mobilnya yang rusak, iya kan? Sederhananya seperti itulah proyeksi yang bisa menggambarkan “Indonesia Baperan”.
Keyakinan yang menjadi sumber permasalahan
Sebenarnya apa yang menjadi inti dalam masalah ini (Baca: Indonesia Baperan) tidaklah rumit, yaitu hanya masalah keyakinan. Bahwasanya kita yakin diri kitalah yang paling benar dan menganggap keyakinan orang lain salah.
Hal yang sangat simple, tetapi menciptakan permasalahan yang begitu besar. Kita menghabiskan begitu banyak energi dan membuang waktu dalam mempertahankan keyakinan kita yang belum tentu benar. Pernahkan kalian mendengar sebuah perkataan dari Jalaluddin Rumi yang berbunyi:
“Kebenaran adalah selembar cermin di tangan Tuhan. Lalu jatuh dan pecah berkeping keping. Setiap orang memungut kepingan itu, lalu berpikir telah memiliki kebenaran yang sejati.”
Premis yang diciptakan oleh filsuf muslim tersebut merupakan realita manusia yang egois. Kita rela berdebat dengan teman bahkan saudara hanya untuk meyakinkan mereka akan prinsip yang kita percayai. Dari bangku kuliah hingga anak sd, dari sebuah raung politik hingga ruang publik seperti warkop/kedai kopi, semua sibuk berdebat dan berdebat.
Moderasi beragama
Selanjutnya, kita membahas moderasi beragama. Mungkin kalian masih bingung dong apa sih moderasi beragama itu? Iya kan? Buat yang udah tau, pura-pura gak tau aja ya biar artikel “Indonesia Baperan” ini bisa lebih panjang.
Nah, moderasi beragama ini adalah cara pandang kita dalam beragama secara moderat, yakni memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan tidak ekstrem, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Gimana pembahasan kita? Tidak terlalu berat kan?
Selanjutnya kita akan lebih serius. Ekstremisme, radikalisme, ujaran kebencian (hatespeech), hingga retaknya hubungan antarumat beragama, merupakan problem yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini.
Bentuk ektremisme terjewantahkan dalam dua bentuk yang berlebihan. Dua kutub yang saling berlawanan. Satu pada kutub kanan yang sangat kaku dalam beragama. Memahami ajaran agama dengan membuang jauh-jauh penggunaan akal.
Sementara di pihak yang lain justru sebaliknya, sangat longgar dan bebas dalam memahami sumber ajaran agama. Kebebasan tersebut tampak pada penggunaan akal yang sangat berlebihan, sehingga menempatkan akal sebagai tolak ukur kebenaran sebuah ajaran. Pasti kalian punya teman yang punya pemahaman kanan kan?
Kebetulan saya punya banyak banget tuh yang kanan, tapi kalo yang kiri hanya beberapa saja. Menurut beberapa survey yang saya baca dari media online, ekstrimis kiri di Indonesia tidak kelihatan di permukaan dan lebih banyak berkecimpung di media sosial dikarenakan tekanan dari ekstrimis kanan di Indonesia yang cukup banyak jumlahnya.
Retaknya hubungan antar umat beragama
Retaknya hubungan antarpemeluk agama di Indonesia saat ini, menurut Nafik Muthohirin (Mei 2018), dilatarbelakangi paling tidak oleh dua faktor dominan: Pertama, populisme agama yang dihadirkan ke ruang publik yang dibumbui dengan nada kebencian terhadap pemeluk agama, ras, dan suku tertentu. Kedua, politik sektarian yang sengaja menggunakan simbol-simbol keagamaan untuk menjustifikasi atas kebenaran manuver politik tertentu sehingga menggiring masyarakat ke arah konservatisme radikal secara pemikiran.
Populisme agama itu muncul akibat cara pandang yang sempit terhadap agama, sehingga merasa paling benar dan tidak bisa menerima ada pendapat yang berbeda.
Namun, masyarakat Indonesia dengan budaya malas membacanya yang sudah mendarah daging ini menjadi takut karena menganggap moderat itu hampir sama dengan sekuler atau paling tidak lemah dalam beragama. Maka dari itu harus ditegaskan kembali bahwa menjadi moderat bukan berarti menjadi lemah dalam beragama, harus diingat itu ya guys.
Menjadi moderat bukan berarti cenderung terbuka dan mengarah kepada kebebasan. Keliru jika ada anggapan bahwa seseorang yang bersikap moderat dalam beragama berarti tidak memiliki militansi, tidak serius, atau tidak sungguh-sungguh, dalam mengamalkan ajaran agamanya.
Kesalahpahaman terkait makna moderat dalam beragama ini berimplikasi pada munculnya sikap antipati masyarakat yang cenderung enggan disebut sebagai seorang moderat, atau lebih jauh malah menyalahkan sikap moderat.
Karakteristik umat Islam yang seharusnya
Di dalam al-Quran terdapat beberapa ayat yang menunjukkan misi agama Islam, karakteristik ajaran Islam, dan karakteristik umat Islam. Misi agama ini adalah sebagai rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamin, QS. al-Anbiya’: 107).
Adapun karakteristik ajaran Islam adalah agama yang sesuai dengan kemanusiaan (fitrah, QS. al-Rûm: 30), sedangkan karakteristik umat Islam adalah umat yang moderat (ummatan wasatan, QS. Al-Baqarah: 143).
Di samping itu, terdapat pula ayat yang memerintahkan agar umat Islam berpihak kepada kebenaran (hanîf, QS. al-Rûm: 30), serta menegakkan keadilan (QS. al-Maidah: 8) dan kebaikan agar menjadi umat terbaik (khair ummah, QS. Ali ‘Imrân: 110).
Ayat-ayat tersebut memperkuat perlunya beragama dengan sikap moderat (tawassuth) yang digambarkan sebagai umatan wasathan, sehingga pada saat ini banyak ulama mempromosikan konsep moderasi Islam (wasathiyyah al-Islâm).
Memang ada juga kelompok-kelompok Islam yang tidak setuju dengan konsep moderasi ini, karena ia dianggap menjual agama kepada pihak lain. Secara bahasa wasathiyyah berarti jalan tengah di antara dua hal atau pihak (kubu) yang berhadapan atau berlawanan.
Adapun pengertian dan rambu-rambu tentang moderasi ini cukup bervariasi, yang tidak terlepas dari pemahaman dan sikap keagamaan masing-masing ulama.
Esensi dari moderasi beragama
Esensi dari moderasi beragama ini tentu saja agar mencegah konflik antar agama ataupun konflik agama dan budaya yang sering terjadi di Indonesia. Mengapa harus dilakukan sekarang? Kok nggak dari dulu sih? Sebenarnya kita tidak melakukannya sekarang atau akan melakukannya nanti.
Tapi sebenarnya kita sudah melakukannya sejak dulu kala. Dan kita hanya perlu menghidupkannya kembali. Yaitu dengan cara dipromosikan ulang dengan cover yang lebih modern.
Atau mungkin bisa dilakukan dengan cara memperlakukan pesan penting moderasi beragama ini mestinya tidak cukup bila hanya dipromosikan, melainkan perlu didesakkan sebagai aksi bersama seluruh komponen bangsa baik pemerintah maupun kelompok agama agar ekstremisme dan kekerasan atas dasar kebencian kepada agama dan suku yang berbeda bisa ditekan dan dihilangkan.
“keyakinan bahwa diri sendiri lebih baik daripada orang lain (‘ujub) adalah sebuah kebodohan belaka.”
Seperti dikutip dari perkataan Abu Hamid al Ghazali dalam Bidayatul Hidayah. Hal inilah yang harus kita ingat dan jadikan patokan dalam hidup, supaya Indonesia dapat tetap damai dan rukun.
Oke teman-teman, mungkin pembahasan kita mengenai moderasi Indonesia Baperan ini sampai di sini dulu, ya! Di lain waktu dan di lain kesempatan, kita akan berjumpa lagi. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.