Masa Peralihan Pasca Perjanjian Giyanti

Setelah Perjanjian Giyanti ditandatangani, terjadi perang suksesi di Jawa yang bertujuan untuk merebut takhta. Masa peralihan tersebut diurai dalam artikel berikut.


perjanjian giyanti berikut ini 20230420071155

Pada tanggal 13 Februari 1755, Perjanjian Giyanti ditandatangani dan mengakibatkan pembagian resmi Kerajaan Mataram Islam menjadi dua wilayah, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta.

Setelah Perjanjian Giyanti ditandatangani, terjadi perang suksesi di Jawa yang bertujuan untuk merebut takhta. Akibat perang ini, perekonomian masyarakat Jawa mengalami keruntuhan yang signifikan. Dibutuhkan hampir 50 tahun untuk memulihkan kondisi di Jawa.

Setelah periode perdamaian, kedua istana Mataram mulai merencanakan kembali kehidupan dan budayanya. Pangeran Mangkubumi kemudian menyatakan dirinya sebagai raja dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwono I.

Sejarah Kerajaan Mataram Islam berakhir secara resmi, baik secara de facto maupun de jure.

Baca Juga: Menghindari Bias Sejarah, Begini Cara yang Harus Dilakukan

Pemisahan Wilayah

perjanjian giyanti
Travel Kompas

Berdasarkan isi Perjanjian Giyanti, wilayah Mataram diperbagi menjadi dua. Bagian pertama wilayah berada di sebelah timur Kali Opak yang melintasi daerah Prambanan saat ini. Wilayah ini dikuasai oleh pewaris takhta Mataram, dengan Sunan Pakubuwono III yang tetap berkedudukan di Surakarta.

Pada saat yang sama, wilayah di bagian barat (wilayah asli Mataram) diserahkan kepada Pangeran Mangkubumi.

Baca Juga:  Pengakuan Pelaku di Video yang Viral, Pelajar SMK Membully dan Melecehkan Temannya sendiri

Kemudian, Pangeran Mangkubumi dinaikkan jabatannya menjadi Sultan Hamengkubuwono I yang berkuasa di Yogyakarta.

Baca Juga: Mengenal 3 Tokoh Genius Paling Cerdas dalam Sejarah Dunia

Relokasi Pusat Pemerintahan

Pemerintah Hindia Belanda mengakui Kesultanan Yogyakarta sebagai kerajaan yang memiliki kebebasan untuk mengurus urusan internalnya sendiri. Pengakuan ini tertuang dalam sebuah kontrak politik yang terdapat dalam Staatsblad 1941 No. 47 tahun 1755. Sejak saat itu, langkah-langkah perbaikan secara bertahap mulai diwujudkan.

Pada tanggal 7 Oktober 1756, Sultan Hamengkubuwono I dan keluarganya pindah ke Keraton Yogyakarta yang telah selesai dibangun.

Kejadian ini menjadi titik awal dari peradaban yang baru di Yogyakarta.

Selain itu, sebagai bentuk penghargaan terhadap semangat kerjasama dan keberanian dalam menghadapi tantangan, dibangunlah monumen Dwi Naga Rasa Tunggal dan Dwi Naga Rasa Wani di gerbang keberuntungan menuju pintu masuk istana Yogyakarta.

Kota baru yang menjadi ibu kota negara dinamakan Ngayogyakarta Hadiningrat yang memiliki arti tempat yang baik dan sejahtera menjadi contoh indah bagi seluruh dunia. Kota baru ini dipilih bukan hanya sebagai pusat pemerintahan, tetapi juga dengan harapan menjadi gambaran yang baik bagi seluruh negara.

Baca Juga:  Mengenal Identitas Kependudukan Digital (IKD): Apa Nasib e-KTP?

Selain itu, ibu kota baru juga menjadi lambang semangat yang membara dari seluruh wilayah negara.

Nama Hadiningrat digunakan untuk menunjukkan bahwa secara konseptual, kota ini diharapkan dapat menjadi sumber inspirasi tentang keindahan dan kesempurnaan untuk seluruh negeri. Tempat yang dipilih adalah hutan beringin yang terletak dekat dengan Kotagede, Kerto, dan Plered.

Dikisahkan sebelumnya, Sunan Amangkurat IV, yang merupakan ayah dari Pangeran Mangkubumi, memiliki rencana untuk membangun ibu kota Mataram yang baru di tempat tersebut. Namun, sayangnya rencana tersebut tidak terlaksana hingga Amangkurat IV meninggal dunia.

Pakubuwono II melanjutkan keinginan ayahnya dengan mendirikan sebuah tempat peristirahatan yang disebut Ngayogyakarta. Tempat ini digunakan sebagai tempat sementara untuk menguburkan jenazah bangsawan Mataram dari Surakarta.

Baca Juga: Raja Henry VIII, Romansa Kontroversial dan Reformasi Agama Sejarah Inggris