Sudah memasuki tahun-tahun pemilu, bukan tidak mungkin akan banyak hoaks pemilu yang tersebar dan meresahkan masyarakat.
Dalam era digital yang mudah berbagi informasi, hoaks semakin banyak tersebar. Pada tahun 2022, Mafindo, sebuah organisasi kemasyarakatan yang berfokus pada penyebaran kesadaran akan bahaya hoaks dan menciptakan ketahanan terhadap hoaks di Indonesia, telah menemukan sebanyak 1698 hoaks yang beredar di media sosial.
Sebuah studi oleh Rensselaer Polytechnic Institute di Amerika Serikat menunjukkan bahwa dalam pemilihan umum, seringkali beredar berita palsu yang berkaitan dengan kandidat dan kebijakan.
Hoaks juga bisa mengandung konten yang menarik perhatian atau memiliki unsur emosi untuk mempengaruhi pendapat masyarakat atau merusak reputasi lawan politik.
Apabila kita melihat kembali pada pemilihan umum tahun 2019, terdapat setidaknya tiga konsekuensi buruk akibat dari penyebaran informasi palsu atau hoaks selama masa pemilu tersebut.
Dampak Negatif Hoaks Pemilu

1. Pembunuhan Karakter
Efek yang paling berdampak dari hoaks dalam pemilu adalah pencemaran nama baik. Dalam konteks hoaks pemilu, istilah ini merujuk pada penyebaran informasi palsu atau menyesatkan untuk merusak reputasi tokoh atau partai politik.
Penelitian oleh Lusia Astrika dan Yuwanto Yuwanto dari UNDIP, Jawa Tengah, menunjukkan bahwa pencemaran nama baik ini dapat mempengaruhi persepsi pemilih.
Pembunuhan karakter terjadi saat ada penyebaran cerita palsu yang menggambarkan karakter, etika, atau kemampuan seseorang secara negatif. Hal ini bertujuan untuk menimbulkan keraguan di kalangan pemilih tentang kesesuaian orang tersebut untuk memegang jabatan tertentu.
Sebuah studi eksperimen di Italia dan Amerika Serikat pada tahun 2021 menunjukkan bahwa jika seorang politisi dituduh secara palsu, hal tersebut dapat merusak reputasinya dan menyebabkan kehilangan dukungan dari para pemilih.
Bahkan jika informasi tersebut kemudian terbukti salah, dampak negatif yang timbul pada awalnya mungkin sulit untuk mengalami perbaikan karena kesan yang kuat yang telah terbentuk.
Contoh Kasus Ahok
Kita bisa ambil kasus yang melibatkan Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama dalam Pemilihan Kepala Daerah Jakarta tahun 2017. Ini adalah bukti yang jelas bagaimana penyebaran berita palsu berdampak negatif terhadap reputasi seseorang.
Ada segelintir oknum yang menuduh Ahok telah menghina Al-Qur’an dan pemilih Muslim melalui pidatonya. Fitnah ini bermula dari sebuah video yang diedit sedemikian rupa sehingga terkesan Ahok mengatakan bahwa pemilih tidak perlu mengikuti ajaran Al-Qur’an. Terutama surah Al Maidah 51 yang melarang umat Islam menjadikan orang Nasrani dan Yahudi sebagai pemimpin.
Padahal, jika kita lihat dalam konteks yang lebih lengkap, Ahok sebenarnya tidak menyerang isi kitab suci tersebut.
Tuduhan menghina agama ini berdampak besar pada popularitas Ahok. Ahok sebelumnya terkenal dan berpotensi besar untuk terpilih. Namun kemudian ia mengalami penurunan dukungan yang signifikan, bahkan masalah ini terus mengganggu jalur politiknya.
2. Ketidakpercayaan terhadap lembaga yang mengatur pemilihan umum
Penyebaran hoaks juga dapat secara signifikan merusak kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemilu. Menurut artikel dari Brookings Institution, menyebutkan bahwa informasi yang salah, seperti klaim adanya kecurangan dalam pemilu, dapat membingungkan pemilih dan pada akhirnya menurunkan kepercayaan mereka terhadap sistem pemilu.
Di Amerika Serikat, studi media menemukan bahwa hanya 20% orang yang merasa “sangat percaya” terhadap kejujuran sistem pemilu di Amerika Serikat, dan 56% dari responden dalam survei CNN mengatakan bahwa mereka “kurang atau tidak percaya” bahwa pemilu mewakili kehendak rakyat.
Penyebaran informasi yang salah mengenai berbagai aspek dalam proses pemilu, seperti tata cara pemungutan suara, penghitungan suara, atau hasil pemilu, dapat menimbulkan keraguan di kalangan masyarakat terhadap kejujuran dan kredibilitas lembaga yang bertanggung jawab dalam menyelenggarakan pemilu.
Contoh Kasus Hoaks Pemilu 2019
Pada saat Pemilihan Presiden Indonesia 2019, banyak berita palsu dan informasi yang salah beredar mengenai penipuan dan manipulasi pemilihan, termasuk klaim tentang adanya pemilih hantu atau nama-nama yang seharusnya tidak ada dalam daftar pemilih, seperti karena adanya duplikasi, nama fiktif, pemilih yang sudah meninggal, atau tidak memenuhi syarat untuk memilih.
Ketidakpastian yang terus-menerus ini dapat memperburuk perpecahan politik, yang akhirnya menyebabkan konflik dan ketidakstabilan dalam masyarakat.
Hoaks juga bisa menghambat jalannya pemilu. Menyebarluaskan informasi yang tidak benar tentang tanggal dan tempat pemungutan suara, misalnya, bisa menyebabkan kebingungan di antara para pemilih.
Pernyataan yang tidak benar tentang keandalan alat pemungutan suara, penanganan surat suara, dan proses penghitungan suara juga dapat memunculkan ketidakpercayaan terhadap aspek teknis pemilu, sehingga membawa masyarakat untuk meragukan keabsahan hasil pemilu.
Sebagai contoh, dalam Pemilu 2019, kardus digunakan untuk membuat kotak suara. Kejadian ini menunjukkan betapa pentingnya informasi yang benar dan lengkap dalam menghindari keraguan, kontroversi, dan spekulasi terkait teknis pemilu.
Beberapa orang bahkan melihat penggunaan materi ini sebagai usaha untuk mempermudah manipulasi suara.
Meskipun KPU merespons dengan cepat isu ini dan menjelaskan bahwa kotak suara kardus sudah terancang agar tahan air dan kuat, serta memenuhi semua standar keamanan, tetapi isu ini masih menimbulkan keraguan dan perdebatan di kalangan masyarakat.
3. Manipulasi Citra
Berdasarkan sebuah studi pada tahun 2019, propaganda politik hoaks memiliki tujuan tidak hanya untuk mempengaruhi masyarakat, tetapi juga untuk mengubah persepsi negatif menjadi positif.
Selain itu, hoaks juga dapat berguna sebagai strategi untuk meningkatkan elektabilitas dan popularitas calon tertentu, atau bahkan untuk merugikan suara pesaing.
Biasanya, informasi negatif atau tidak benar tentang lawan politik tersebar melalui rumor, skandal yang sengaja diciptakan, termasuk informasi tentang latar belakang keluarganya, atau penafsiran yang salah tentang kebijakan atau tindakan kandidat di masa lalu.
Hal ini bertujuan untuk merusak reputasi lawan di mata pemilih, sehingga mempengaruhi opini publik dan keputusan mereka dalam pemilihan kandidat tersebut.
Contoh Kasus Jokowi Dituduh Keturunan Tionghoa
Salah satu contoh yang bisa kita sebutkan adalah penyebaran berita palsu yang menyerang Joko “Jokowi” Widodo pada Pemilu 2019. Pada waktu itu, berita bohong yang tersebar luas mengklaim bahwa Jokowi adalah keturunan Tionghoa dan beragama Kristen.
Disinformasi ini bertujuan untuk meragukan kesetiaan Jokowi terhadap agama dan bangsanya, yang merupakan topik yang sensitif dalam konteks sosial politik Indonesia yang mayoritasnya beragama Islam dan berasal dari suku Jawa.
Hoaks ini terdesain untuk mempengaruhi pendapat pemilih Muslim yang konservatif. Keraguan terhadap latar belakang dan agama Jokowi dipercaya dapat mengurangi daya tarik dan dukungan dari para pemilih tersebut.
Dalam usaha meningkatkan reputasi positif, tim kampanye sering kali menghasilkan informasi yang positif namun tidak selalu akurat atau objektif tentang seorang kandidat. Mereka mungkin membuat cerita palsu tentang prestasi pribadi, menggunakan statistik yang menyesatkan tentang kinerja, atau mengedit gambar dan video.
Hal ini agar tujuan menciptakan citra kandidat yang ideal dan seringkali tidak realistis, agar dapat mempengaruhi persepsi positif publik.
Contoh praktik ini dapat terlihat dalam kampanye Donald Trump, mantan presiden Amerika Serikat. Tim kampanyenya berusaha meningkatkan pandangan positif dengan mengatakan bahwa Trump sukses sebagai pengusaha, sehingga ia dapat bernegosiasi untuk mendapatkan perjanjian perdagangan yang lebih menguntungkan bagi Amerika Serikat.
Dua strategi ini memiliki dampak penting terhadap integritas pemilihan, karena keduanya menghambat pemilih untuk membuat keputusan berdasarkan fakta yang ada.
Baca Juga:
Itulah penjelasan mengenai dampak negatif hoaks pemilu. Sebagai pemilih pada pemilu nanti, kita perlu lebih bijak dalam mengelola informasi yang kita dapatkan.
Sumber: theconversation