Di Majalengka, Jawa Barat, seorang guru SD berinisial AS nyari dipenjara saat mendisplinkan siswanya yang berambut gondrong. Hal serupa juga terjadi di Banyuwangi, Jawa Timur.
Komisioner KPAI Susanto menyayangkan kasus pendisplinan oleh guru-guru tersebut harus berujung ke meja hukum. Menurutnya, guru bisa memberi teguran kepada siswa dengan cara yang lebih edukatif lagi.
“Tantangan guru zaman sekarang gak mudah, makanya perlu membangun banyak strategi. Sepanjang misalnya siswa melanggar tata tertib itu tentu harus ada konsekuensi yang edukatif. Guru masih berpikir bahwa anak yang melanggar dapat sanksi. Padahal, logika hukum tidak bisa diterapkan dalam logika pendidikan,” ujar Susanto.
Susanto mengatakan, tidak semua jenis sanksi yang diberikan oleh guru terhadap muridnya di sekolah bisa diterima dengan baik. Meski niat sang guru baik, tetapi tidak serta merta guru dapat menerapkan pendisplinan dengan cukur rambut ala kadarnya sebagai bentuk hukuman.
“Harusnya kita lebih mencari formula edukatif. Sebab pendisplinan itu cenderung dimaknai konotasinya dengan hukuman padahal paradigmanya itu pengembangan perilaku. Kalau hukuman itu efektif hanya untuk jangka pendek, tapi perilaku ke depannya belum tentu anak mau mengikuti aturan dan norma,” ujar Susanto.
“Kita harus lihat konteksnya. Kalau cukur rambut itu secara tuntas dan pantas saya kira tindakan guru enggak dianggap sebagai pelanggaran. Tidak sedikit guru cukur rambut enggak tuntas sebagai bentuk pendisplinan, itu yang sebenarnya yang enggak pantas,” tambah Susanto.
Seperti diberitakan sebelumnya, AS yang merupakan guru SDN Penjalin Kidul V nyaris dijebloskan ke dalam penjara dengan pidana percobaan pada 19 Maret 2012. Tidak terima, orang tua siswa, malah mencukur balik rambut AS dan mempolisikannya.
Dalam penyidikannya dan dakwaannya, polisi dan jaksa mendakwa AS dengan UU Perlindungan Anak. Versi polisi dan jaksa, perbuatan AS mencukur siswa SD kelas III itu dinilai telah melakukan diskriminasi dan penganiayaan terhadap anak hingga sang guru terancam 5 tahun penjara. AS dituding melanggar pasal 77 huruf a UU Perlindungan Anak yang berbunyi:
Setiap orang dengan sengaja melakukan tindakan diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya dipidana dengan penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100 juta.
Adapun pasal 80 ayat 1 UU Perlindungan Anak berbunyi:
Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau dengan paling banyak Rp 72 juta.
Pasal yang bersifat luas dan multitafsir itu digunakan oleh polisi dan jaksa untuk menjerat AS. Untuk memberatkan dakwaannya, jaksa juga memasukkan pasal sapu jagat dalam KUHP yaitu pasal 335 ayat 1 kesatu KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan. Pasal ini berbunyi.
Diancam dengan pidana paling lama satu tahun barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memaknai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain.
Dengan tigal pasal ini pada 2 Mei 2013, majelis hakim Pengadilan Negeri Majalengka pun memutuskan dakwaan jaksa dan menyatakan AS telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan terhadap anak didiknya. Kemudian hukuman ini dikuatkan di tingkat banding. Dimana Pengadilan Tinggi (PT) Bandung sepakat dengan PN Majalengka untuk memberi hukuman kepada AS karena dianggap telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan dengan mencukur rambut siswanya.
Atas putusan tersebut, AS lalu mengajukan kasasi. Palu keadilan diketok MA dan membebaskan AS. Pada 6 Mei 2014 AS dibebaskan.