Dalam dunia filsafat khususnya filsafat islam terdapat perdebatan yang dikenal rumit, radikal dan berbau kontroversi. Perdebatan tersebut adalah perang argument antara Al Ghazali versus Ibnu Rusyd yang terutang dalam buku Tahafut al- Falasifa (Incoherence of the Philosophers) karya Al Ghazali dan buku Tahafut at -Tahafut (Incoherence of the Incoherence) karya Ibnu Rusyd.
Perang argument filosofis antara Al Ghazali versus Ibnu Rusyd yang paling menonjol adalah mengenai problem ketuhanan dan alam semesta. Keduannya mempunyai pandangan yang berbeda dalam menginterpretasi teks Al Qur’an secara filosofis. Menariknya, keduanya sama-sama dari kalangan muslim, akan tetapi argument-argument di antara keduanya mengundang kontrovesi yang sangat mendasar, baik bagi kalangan umat muslim sendiri maupun bagi kalangan non-muslim (baca : dunia barat).
Perdebatan ini dimulai ketika Al Ghazali mulai mengkritisi para filosof-filosof muslim sebelumnya, yaitu Al Farabi dan Ibnu Sina yang pemikirannya berbau Aristotelian. Secara intensif Al Ghazali mengkritisi tentang problem ketuhanan dan alam semesta yang telah dipikikan secara metafisis spekulatif oleh para filosof.
Menurut Al Ghazali, hal ini tidak sesuai dengan ajaran Al Qur’an dan Al Hadits yang merupakan sumber kebenaran mutlak kaum muslimin. Dalam bukunya, al-Ghazali membahas persoalan-persoalan tersebut secara terperinci dan sistematis ke-20 masalah tersebut dengan mengemukakan pandangan para filosof sebelumnya dan kemudian ia sampaikan kritikannya dengan detil.
Merespon buku Tahafut al-Falasifah Al-Ghazali, Ibn Rusyd yang lahir pada tahun 1126 di Cordova, Andalusia menulis bukunya yang berjudul Tahafut at-Tahafut (Kerancuan dari kerancuan). Jika Al-Ghazali menulis dengan semangat bahwa beberapa pandangan filosof atau persoalan yang ada dalam filsafat itu bertentangan dengan ajaran agama, Ibn Rusyd justru menulis dengan semangat bahwa persoalan-persoalan yang ada dalam filsafat itu tidak bertentangan sama sekali dengan ajaran agama. Ibn Rusyd dalam Tahafut at-Tahafutnya menjawab semua dua puluh persoalan yang dikritik oleh al-Ghazali secara terperinci.
Dalam dua puluh persoalan yang dikemukakan oleh Al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah, ada tiga persoalan yang membuat Al-Ghazali beranggapan bahwa para filosof itu kafir antara lain “Kekekalan Alam, Ketidaktahuan Tuhan Terhadap Sesuatu yang Partikular, dan Tidak Adanya Kebangkitan Jasmani”.
Ketiga persoalan tersebutlah yg membuat al-Ghazali berpikir bahwa para filosof telah menentang agama dan menjadi kafir karena mengikuti kerancuan pikiran para filosof-filosof Yunani seperti Plato, Aristoteles, Phytagoras, Galen, Plotinus dan lain sebagainya.
Al-Ghazali dan Ibn Rusyd tidak hidup pada zaman yang sama, karena itu perdebatan yang ada dalam buku ini tidak terjadi dua arah. Dalam buku Tahafut al-Falasifah maupun Tahafut at-Tahafut hanya terdapat kutipan-kutipan dari pemikiran sebelumnya baru setelah itu baik Al Ghazali dan Ibn Rusyd mengomentarinya dengan sistematis dan mendetil.
Kekekalan Alam
Kekekalan (eternitas) alam sebenarnya adalah pemikiran filosof Yunani yang bernama Aristoteles. Para filosof seperti Ibn Sina dan Ibn Rusyd dan para teolog khusunya Al-Ghazali, masing-masing dari keduanya sama-sama meyakini bahwa alam itu diciptakan dan mempunyai sebab. Akan tetapi perbedaan di antara keduanya adalah para filosof menyatakan bahwa alam itu diciptakan tidak dalam waktu, ini berarti bahwa alam itu bersifat kekal dalam pengertian bahwa adanya alam itu bersamaan dengan adanya Tuhan.
Jadi menurut para filosof tidak ada jeda atau waktu ketika alam diciptakan. Sedangkan kaum teolog khususnya Al-Ghazali menyatakan bahwa alam itu diciptakan dalam waktu atau baru, ini berarti bahwa ada jeda ketika alam ini diciptakan dengan kehadiran Tuhan yang tidak memiliki keberawalan. Jadi ada saat ketika hanya ada Tuhan saja, sedangkan alam belum diciptakan. Argumentasi dari masing-masing keduanya itu akan dijelaskan dibawah ini.
Menurut para filosof sesuatu yang baru itu mustahil bersumber dari yang eternal secara mutlak dan hal ini sesuai dengan prinsip keidentikan antara sebab dan akibat. Artinya bahwa jika Tuhan sebagai sebab yang eternal secara mutlak tentu akan menghasilkan suatu akibat yang eternal juga.
Kemudian jika Tuhan itu sebagai sebab sempurna, maka akibatnya pun akan niscaya adanya. Maka dari itu para filosof meyakini bahwa alam itu kekal yakni ada ketika Tuhan ada. Jadi dengan demikian adanya alam itu bersamaan dengan adanya Tuhan dan tidak ada jarak waktu ketika ada Tuhan kemudian setelah beberapa saat alam itu ada.
Para filosof menganggap bahwa alam itu terbentuk karena disebabkan kehadiran Tuhan. Biasanya para filosof menganalogikanya seperti matahari dan cahaya yang adanya secara bersamaan yaitu ketika ada matahari, pada saat itu juga ada cahaya.
Jika diandaikan bahwa alam itu mewujud setelah adanya beberapa waktu dengan kata lain bahwa mewujudnya alam itu setelah sebelumnya tiada, maka ini berarti alam pada saat itu masih dalam keadaan mungkin. Maka ketiaadan alam pada saat itu karena tidak adanya penentu atau yang berkehendak untuk mengadakannya.
Jika kemudian alam itu ada setelah sebelumnya tiada, maka kita masih menanyakan bahwa penentu tersebut telah mendorong terpciptanya alam atau tidak? Jika tidak, maka kondisi alam akan sama seperti sebelumnya yaitu dalam keadaan mungkin. Jika penentu itu mendorong, maka kita masih mempertanyakan juga siapa yang menciptakan alam itu? Kenapa ia baru muncul sekarang, dan bukan sebelumnya?
Selain itu, jika alam itu baru atau mewujud setelah sebelumnya tiada, maka ini akan meniscayakan adanya perubahan pada diri Tuhan. Karena jika Tuhan tetap dan tidak mengalami perubahan, maka alam tidak akan tercipta, karena sebelum penciptaan Tuhan itu tetap, dan setelah penciptaan Tuhan juga tetap.
Al-Ghazali dalam menjawab pernyataan-pernyataan para filosof yang telah disebutkan diatas, itu dengan mengajukan gagasan kehendak yang kekal. Maksudnya adalah bahwa yang baru itu bisa muncul dari yang kekal secara mutlak yaitu dengan kehendak kekal.
Jadi menurut Al-Ghazali alam itu muncul dengan kehendak kekal dan bersamaan ketika waktu adanya kehendak tersebut. Dengan kehendak Tuhan, ketiadaan itu akan berlangsung sampai titik terakhir dan wujud alam akan bermula saat kehendak untuk mewujudkan itu bermula. Dengan demikian, berarti ketika Tuhan belum berkehendak alam itu ada, maka wujud alam tidak ada, dan ketika Tuhan berkehendak untuk mewujudkan alam itu ada, maka alam itu ada.
Dalam membantah argumentasi Al-Ghazali tentang kehendak kekal atau dalam penciptaan alam yang baru, Ibn Rusyd memulainya dengan memperhatikan dengan seksama perbedaan diantara dua konsep yaitu tindakan dan kehendak yang mana dipredikatkan pada Tuhan.
Menurut Ibn Rusyd, menganggap bahwa alam itu mewujud setelah adanya jarak waktu yang mana dikehendaki Tuhan secara kekal itu bisa diterima, akan tetapi tidak dengan diikuti oleh tindakan Tuhan. Artinya ketika Tuhan bertindak, produk tindakan Tuhan pun mestinya secara langsung ada, kecuali jika Tuhan itu tidak maha kuasa. Maka dari itu tidak ada jarak waktu antara tindakan Tuhan dengan produknya. Ini berarti bahwa alam itu dipandang sebagai produk dari tindakan Tuhan, bukan kehendak-Nya.
Selain itu kehendak merupakan hasrat untuk melakukan suatu tindakan tertentu dan ketika itu telah dilakukan, maka hasrat akan berhenti. Dengan demikian untuk menetapkan suatu kehendak yang abadi dalam penciptaan alam yang baru itu sesuatu yang bertentangan dengan apa yang dimaksud dengan kehendak itu sendiri.
Ketidaktahuan Tuhan Terhadap Sesuatu yang Partikular
Pendapat tentang ketidaktahuan Tuhan terhadap sesuatu yang particular juga awalnya merupakan buah pemikiran Aristoteles yang menganggap Tuhan sebagai Penggerak Pertama. Pemikiran tentang Tuhan yang berkembang pada filsafat di dunia Islam sebenarnya adalah percampuran dari Tuhan Yang Baik dari Plato, Tuhan sebagai penggerak pertama dari Aristoteles dan teori emanasi atau Tuhan Yang Satu dari Plotinus.
Para filosof seperti Al-Farabi dan Ibn Sina mengatakan bahwa Tuhan itu mengetahui diri-Nya dan juga selain diri-Nya, akan tetapi Dia mengetahuinya secara universal. Tuhan mengetahui segala sesuatu secara universal menurut mereka agar pengetahuan Tuhan itu tidak berubah-ubah dan tetap, sehingga jika diasumsikan tidak demikian (mengetahui secara partikular) maka pengetahuan Tuhan akan berubah dan ini meniscayakan bahwa diri Tuhan pun akan berubah karena pengetahuan baru yang masuk pada diri Tuhan.
Dalam Tahafut al-Falasifah, Al-Ghazali dalam menjelaskan pendapat para filosof mengenai hal ini, adalah dengan mencontohkanya pada peristiwa gerhana matahari. Dalam proses terjadinya gerhana matahari ada tiga proses dan juga keadaan yaitu; pertama, ketika matahari belum terjadi gerhana, ini adalah keadaan dimana gerhana akan terjadi.
Kedua, ketika terjadi gerhana, ini adalah keadaan dimana gerhana sedang terjadi, dan yang ketiga, ketika gerhana telah terjadi, ini berarti gerhana telah usai dan gerhana sudah pernah ada. Jika sesuatu mengetahui sesuatu yang lainya seperti ini, maka akan terjadi perubahan pada diri subjek yang mengetahui.
Hal tersebut disebabkan karena sebelumnya subjek hanya mengetahui gerhana yang belum terjadi, dan setelah terjadi, baru kemudian dia mengetahui bahwa gerhana sedang terjadi dan begitupun setelahnya. Para filosof menyatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai keadaan-keadaan yang berbeda seperti yang telah disebutkan diatas karena sesuatu yang tetap dan tidak mengalami perubahan tidak bisa dibayangkan untuk mengetahui keadaan-keadaan tersebut.
Walaupun demikian, para filosof menyatakan bahwa Tuhan mengetahui gerhana matahari sejak dari awal tanpa ada perbedaan. Misalnya, Tuhan mengetahui bahwa matahari itu ada, karena matahari tersebut merupakan akibat-Nya atau diemanasikan dari-Nya melalui akal-akal immateri.
Kemudian Dia juga mengetahui bahwa matahari itu akan mengalami pergerakan sampai akhirnya bisa bertemu dalam titik yang sama dengan bulan sehingga terjadinya gerhana dan seterusnya. Semua itu Tuhan mengetahuinya secara universal.
Contoh di atas adalah menyangkut sesuatu yang dapat dibagi-bagi melalui dalam waktu. Demikian juga hal-halyang ada dalam ruang dan materi seperti kuda, sapi, manusia dan lain-lain. Berkenaan hal ini, para filosof mengatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui peristiwa-peristiwa detil yang terjadi pada kuda, sapi, atau manusia secara personal.
Akan tetapi, Dia mengetahuinya secara universal, seperti mengetahui manusia, binatang, dan potensi-potensi peristiwa tersebut. Dia mengetahui bahwa dalam tubuh manusia terdapat beberapa organ, kemudian manuisa mempunyai daya persepsi untuk menangkap sesuatu diluar dirinya. Akan tetapi semua itu diketahui oleh-Nya secara universal.
Sedangkan bagaimana individu secara personal, Dia tidak mengetahuinya karena pengetahuan secara partikular itu ditangkap oleh indera bukan akal, selain itu objeknya berubah-ubah. Sedangkan akal dalam mengetahui sesuatu itu tidak seperti demikian, artinya akal mengetahui sesuatu secara universal.
Pendapat di atas tersebut menurut al-Ghazali itu sangat bertentangan dengan ajaran-ajaran agama. Misalkan seperti Tuhan tidak mengetahui keislaman atau ketaatan dan kekufuran pada individu yang diakibatkan oleh perbuatan-perbuatannya yang dalam keadaan-keadaan tertentu. Kemudian Tuhan tidak mengetahui manusia (individu) secara personal karena Tuhan hanya mengetahui manusia secara universal.
Dalam membahas tentang pengetahuan Tuhan, Ibn Rusyd mengkritik Ibn Sina karena menganggap model pengetahuan itu universal atau dengan kata lain Tuhan mengetahui segala sesuatu itu secara universal. Akan tetapi Ibn Rusyd juga menolak kritikan al-Ghazali bahwa para filosof telah mereduksi pengetahuan Tuhan tentang mengetahui semuanya. Karena menurut al-Ghazali pengetahuan itu akibat dari kehidupan.
Menurut Ibn Rusyd kita tidak bisa memprediksikan pengetahuan Tuhan dengan mode universal maupun partikular dengan analogi terhadap pengetahuan manusia. Karena menurutnya mode pengetahuan manusia itu berbeda dengan mode pengetahuan Tuhan.
Pengetahuan manusia itu adalah akibat dari sesuatu yang diketahui, sedangkan pengetahuan Tuhan itu merupakan sebab dari sesuatu yang diketahui. Dengan demikian pengetahuan yang diprediksikan pada Tuhan dan manusia itu samar-samar atau dikotomi karena pengetahuan Tuhan adalah sebab dari entitas-entitas yang ada, sedangkan entitas yang ada itu merupakan sebab bagi pengetahuan manusia.