Kisah ini berawal ketika Nabi Muhammad SAW dalam fase dakwah (awal – awal masuk Islam di Mekkah), beliau kedatangan tamu dari distrik Bi’r Maunah. Mereka berkata kepada Rasulullah bahwa di tempat mereka banyak yang masuk Islam. Mereka meminta dikirimkan guru untuk mengajarkan mereka.
Kemudian Rasulullah mengirimkan 70 orang penghafal Qur’an ke distrik tersebut, karena beliau senang sekali disaat awal – awal dakwah mendapatkan kabar sekitar satu desa masuk Islam.
Singkat cerita ketika Rasulullah menunaikan Shalat (dalam sebagian riwayat ada yg mengatakan Shalat subuh atau shalat Maghrib), tiba – tiba datanglah Malaikat Jibril menyampaikan sebuah kabar bahwa orang – orang yg datang itu mereka menipu Rasulullah; orang – orang dari Bi’r Maunah tidak masuk islam namun justru mendzolimi dan membantai 70 orang Hafidz tadi.
Rasulullah dengan sifat kemanusiaannya marah pada saat itu, beliau berdo’a kepada Allah:
“Ya Allah hukum mereka, laknat mereka” dan ini berlangsung selama sebulan.
Hingga turunlah kemudian Qur’an Surat Al-Imron ayat 128 – 129. Ayat ini menjelaskan Allah yang memperingatkan Rasulullah bahwa dia tidak punya hak untuk menghukum seseorang atau melaknat seseorang meskipun seseorang tersebut pernah berbuat salah; adalah hak Allah yang menentukan siapa yang dilaknat atau untuk menghukum seseorang.
Ayat ini juga menerangkan bahwa Allah ingin memberikan keterangan kepada Rasulullah; tugas beliau itu berdakwah dalam kebaikan sekalipun cuma berdo’a, bila bisa berdo’a yang baik – baik maka hindarkan do’a yang tidak baik.
Setelah ayat ini turun, terjadilah 2 peristiwa
1. Nabi tidak membacakan lagi do’a tadi tapi kemudian merubah do’anya menjadi do’a yang baik. Dalam bahasa Arab sesuatu yang baik yang dimohonkan kepada Allah SWT singkatnya disebut dengan “Qunut”. Nabi mengajarkan do’a ini kepada cucunya Al Hasan dan juga kepada para sahabat – sahabat yang lain do’a yang baik sebagai ganti do’a yg tidak baik tadi. Do’a ini yang biasa kita kenal “Allahummah dinii fii man hadait; Wa’aafinii fii man ‘aafaiit….dst”
2. Nabi tidak pernah membacakan do’a itu lagi tapi kemudian para sahabat mempraktekan do’a itu dalam sholatnya, ada yang menggunakan saat witir, saat Ramadhan 10 malam terkahir, dan juga ada yang menggunakan saat shalat subuh.
Namun Nabi mendiamkan hal ini, bahkan ada riwayat yang mengatakan Nabi pernah mempraktekan do’a ini ketika shalat subuh, meskipun masih berselisih pendapat terhadap kuat dan lemahnya riwayat ini.
Sikap Ulama
Dari peristiwa tersebut, para Ulama mengambil 3 kesimpulan terkait sikap hukum terhadap Qunut saat shalat ini:
1. Imam Abu Hanifah mengatakan karena Nabi sebelumnya tidak baca do’a dan setelah itu pun Nabi tidak baca do’a lagi maka beliau menyimpulkan “Tidak perlu membaca Qunut saat Shalat subuh”.
2. Imam Malik, Imam Syafi’i menyimpulkan “Nabi membaca do’a, kemudian do’a tersebut diganti oleh Allah menjadi do’a yang baik dan kemudian diajarkan oleh Nabi kepada sahabat, sahabat membacakan Nabi tidak melarang dan bersikap diam; itu artinya membaca do’a ini dibenarkan ketika shalat”
Oleh karena itu Imam Malik dan Imam Syafi’i mengambil sikap membaca do’a Qunut ketika Subuh.
3. Imam Ahmad bin Hambal menyimpulkan “Nabi sebelumnya tidak berdo’a namun ada peristiwa besar terjadi yang membutuhkan do’a kemudian Nabi berdo’a akan hal itu, setelah itu Nabi tidak berdo’a lagi. Ini artinya do’a ini bisa dihadirkan pada peristiwa – peristiwa yang menuntut kita menghadirkan do’a yang di mana kita tidak berada di peristiwa tersebut. Dalam bahasa Arab disebut dengan “Nazilah”. Maka dikenal dengan Qunut Nazilah.
Tiga sikap ini disepakati oleh Para Ulama baik di zaman itu hingga ke zaman kini; ini Istihad para Ulama yang dibenarkan dan sah dilakukan ketika memilih satu di antara ketiganya.
Kita bisa mengambil kesimpulan bahwa baik membaca Qunut atau tidak membaca Qunut saat Shalat Subuh itu sama – sama benar dan tidak ada yang salah, yang salah itu yang tidak shalat subuh.