Isu politik mengenai Gentong Babi atau dana pembangunan mendadak menjadi perbincangan hangat setelah film dokumenter Dirty Vote menyinggung soal situasi politik saat ini.
Film yang berdurasi sekitar dua jam ini mengangkat pernyataan dari ahli hukum tata negara Bivitri Susanti tentang penggunaan konsep gentong babi oleh pemerintah Indonesia, terutama dalam program bantuan sosial (bansos).
Menurut Bivitri dalam film tersebut, “mengapa bantuan sosial juga ‘mereka’ gunakan sebagai alat politik dan sebagainya?”. Ada satu konsep dalam ilmu politik yang selaras, yaitu “gentong babi” atau politik pork barrel.
Bivitri menjelaskan bahwa politik pork barrel adalah istilah yang merujuk kepada zaman perbudakan di Amerika Serikat. Pada saat itu, para budak saling bersaing untuk mendapatkan daging babi yang telah diasinkan dalam gentong.
Sebagai akibat dari situasi tersebut, timbul istilah “terdapat individu yang akan saling bersaing untuk mendapatkan suatu hak resmi demi kenyamanan pribadinya.”
“Jadi, topik yang sedang trend di sini adalah strategi politik yang melibatkan penggunaan dana publik untuk didistribusikan ke daerah pemilihan oleh para politisi agar mereka dapat terpilih kembali,” kata Bivitri.
Meskipun demikian, bagaimana hubungan antara gentong babi dalam sejarah politik dan perbudakan di Amerika Serikat?
Istilah pork barrel pertama kali digunakan untuk menggambarkan pengeluaran anggaran pemerintah Amerika Serikat yang mencurigakan pada pertengahan abad ke-19.
Menurut sumber dari Investopedia, istilah ini mengacu pada dana yang pemerintah keluarkan untuk proyek-proyek yang nilai manfaatnya jadi pertanyaaan. Dugaan bahwa dana tersebut terpakai oleh anggota Kongres untuk kepentingan distrik asal mereka dan keuntungan politik pribadi mereka.
Baca Juga: Intip Jadwal dan Tahapan Penghitungan Suara Pemilu 2024!
Asal-usul Kata ‘Gentong Babi’

Secara harfiah, penggunaan istilah pork barrel pertama kali pada abad ke-18. Istilah ini merujuk pada daging babi yang diasamkan dan disimpan dalam gentong kayu yang berukuran lebih dari 30 galon sebelum didinginkan.
Menurut Tom Wakeford dan Jasber Singh dalam bukunya yang berjudul “Towards Empowered Participation: Stories and Reflections”, pemilik budak di Amerika Serikat sering memberikan daging babi asin dalam wadah kepada para budaknya.
Menurut laporan The Sydney Morning Herald, para budak ini mendapat bayaran berupa babi yang tersimpan dalam gentong. Untuk mendapatkan bayaran tersebut, mereka saling bersaing untuk mengambilnya.
Pada tahun 1863, Edward Everett Hale, seorang penulis dan sejarawan, menerbitkan cerita berjudul “The Children of the Public”. Cerita tersebut mengisahkan tentang pengeluaran pemerintah untuk kepentingan rakyat.
Kurang lebih 10 tahun kemudian, muncul istilah politik gentong babi yang mengacu pada penggunaan dana publik oleh seorang politikus. Istilahnya untuk kepentingan kelompok kecil dalam golongan tertentu, dengan tujuan mendapatkan dukungan dalam bentuk suara atau sumbangan untuk kampanye.
Pada zaman sekarang, gentong babi bermakna sebagai pengeluaran yang boros untuk proyek-proyek pekerjaan umum lokal yang nilainya mencurigakan. Proyek-proyek tersebut hanya bermanfaat bagi mereka yang ingin mendapatkan dukungan dari pemilih.
Salah satu contoh implementasi gentong babi adalah pengalokasian dana sebesar 223 juta dolar atau sekitar 343 miliar rupiah oleh Kongres AS pada tahun 2005. Dana tersebut untuk membangun jembatan yang menghubungkan dua kota kecil di pedesaan Alaska.
Aggapan dari proyek ini sebagai penggunaan dana yang berlebihan yang akhirnya mereka batalkan setelah bertahun-tahun, demi meningkatkan sistem transportasi feri di daerah setempat.
Baca Juga: Inilah Jadwal dan Larangan Masa Tenang Kampanye Pemilu 2024