Boikot produk Israel belakangan ini sedang gencar dilakukan oleh banyak orang, dalam situasi konflik antara Israel dan Palestina, gerakan boikot terhadap produk-produknya semakin meluas. Perusahaan yang mendukung tindakan militer Israel juga menjadi sasaran boikot.
Beberapa perusahaan yang menjadi target boikot merasa cemas karena kampanye tersebut berdampak negatif pada harga saham mereka. Saham McDonald’s turun ke level terendah sejak tanggal 27 Oktober 2022. Saham Starbucks juga turun menjadi US$91,4 per tanggal 12 Oktober dan menyebut titik terendah sejak boikot.
Gerakan boikot produk menurut laporan Al Jazeera tahun 2018 berpotensi merugikan Israel hingga US$11,5 miliar atau sekitar Rp183,37 triliun (dengan asumsi kurs Rp15.945/US$) per tahun. Meskipun belum ada laporan kerugian dari Israel akibat gerakan boikot yang meluas.
Baru-baru ini, Israel tengah menghadapi tantangan dalam misi diplomatiknya. Prioritas mereka adalah untuk mengatasi gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS), dan hal ini menjadi suatu kekhawatiran bagi mereka.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, telah mengambil tindakan untuk melarang kelompok yang mendukung gerakan boikot. Sebab, dapat berpengaruh pada ribuan warga Israel yang kehilangan pekerjaan jika mengalami boikot internasional.
Akibat dari Boikot Produk terhadap Ekonomi Israel
Menurut laporan The Jerusalem Post, Israel menolak gerakan boikot yang dapat merugikan mereka. Mereka berpendapat bahwa tindakan tersebut hanya akan meningkatkan penderitaan rakyat Palestina, bukan menguranginya.
Menurut Brookings Institution, organisasi non-profit yang berbasis di Washington, Amerika Serikat, gerakan BDS tidak akan memiliki dampak signifikan terhadap perekonomian Israel. Hal ini karena sekitar 40 persen ekspor Israel adalah barang “intermediet” atau produk yang digunakan dalam proses produksi barang lain di tempat lain, seperti semikonduktor.
Boikot produk Israel terbukti efektif, menyebabkan kerugian besar bagi negara itu.
Sekitar setengah dari barang yang diekspor oleh Israel adalah barang yang unik dan tidak bisa digantikan, seperti chip komputer khusus.
Berdasarkan data dari Bank Dunia, terjadi penurunan drastis pada ekspor barang-barang “intermediet” dari tahun 2014 hingga 2016, sehingga dampak yang muncul yaitu kerugian mencapai US$6 miliar atau sekitar Rp95,67 triliun.