Benarkah Kita Sedang Berada Dalam Masyarakat Orwellian?

5
0

George Orwell adalah nama pena seorang penulis yang mengeluarkan dua buku penting dalam sejarah literatur Inggris—dan bahkan bagi beberapa orang, sejarah literatur dunia—yakni Animal Farm dan 1984. Kedua novel tersebut mengangkat tema yang sama, ketakutan Orwell terhadap masuknya dunia ke dalam jurang bernama totalitarianisme.

Pada tahun 2008, George Orwell meraih peringkat kedua dalam “Top 50 penulis Inggris terbaik sejak 1945” yang dirilis oleh koran The Times. Ketakutan dan kritik yang dituangkan Orwell ke dalam tulisan-tulisannya berbuah suatu istilah yang merujuk pada masyarakat dalam kondisi totalitarian: Orwellian.

George Orwell
George Orwell | Source Image

Orwellian adalah suatu kondisi di mana kebebasan berpikir hilang atau rusak. Suatu masyarakat dapat dikatakan “Orwellian” jika pada masyarakat itu terdapat sikap dan pengontrolan pemikiran secara draconian atau masif melalui propaganda, pengawasan, misinformasi, doublethink, doublespeak, serta manipulasi sejarah.

Termasuk dalam pertanda masyarakat Orwellian ini adalah keadaan unperson di mana seseorang secara harfiah dihapus dari dunia, atau keberadaannya tidak diakui. Kebanyakan pertanda masyarakat Orwellian sebenarnya bisa diambil dari novel Orwell yang berjudul 1984 (Nineteen Eighty-Four).

ARTIKEL TERKAIT •
Perjanjian Roem-Royen

Indonesia pada tahun 2019 kemarin mengalami perubahan dalam kondisi masyarakatnya. Hal ini adalah akibat ekspansi besar-besaran internet dan sosial media sehingga Facebook yang dulunya hanya dipegang oleh segelintir orang dengan akses internet kini dirubungi ribuan akun dengan karakter dan latar belakang “baru kenal internet”. Tentu, kanal informasi yang dibuka lebar ini menyebabkan filtrasi atau penyaringan dan pemurnian berita menjadi lebih sulit.

Perubahan masyarakat ini begitu besar hingga muncul organisasi seperi MAFINDO yang sole purpose-nya adalah menghambat isu dan berita tidak benar dari sirkulasi. Kondisi masyarakat Indonesia kini mencerminkan kondisi yang dituliskan Orwell dalam karyanya.

Doublethink dan Doublespeak

Double Think
Source Image

Doublethink adalah kata yang asing bagi kita semua. Arti dari kata doublethink adalah penerimaan dua pendapat atau kepercayaan yang kontradiktif secara sekaligus.

Berbeda dengan kemunafikan dan netralitas, doublethink berarti orang tersebut dengan sengaja dan dengan sadar menghilangkan kontradiksi dua kepercayaan yang dianutnya dari pemikirannya dan hanya menggunakan kepercayaan yang akan menguntungkan pihaknya, atau mudahnya kemunafikan terstruktur.

Orwell mendeskripsikan jalan pemikiran ini sebagai mengatakan kebohongan yang disengaja sementara sepenuh hati mempercayainya, melupakan fakta apapun yang tidak cocok dan kembali mempercayainya ketika diperlukan, menolak adanya kebenaran objektif dan sekaligus mengiyakan kebenaran yang ditolak.

ARTIKEL TERKAIT •
Semua WNI di Kapal Pesiar Tidak Terindikasi Virus Corona Berbekal Mie Instan, Tolak Angin, dan Vitamin C

Politik bukan satu-satunya tempat kita bertemu dengan doublethink yang dilakukan masyarakat Indonesia. Ambil contoh pandangan masyarakat Indonesia secara umum mengenai pemuda, atau kita persempit lagi menjadi mahasiswa. Pemuda dideskripsikan banyak artikel Indonesia sebagai penentu masa depan, maka anggapan itu bisa kita jadikan suatu pemikiran yakni pemuda memiliki kewajiban berperan dalam masyarakat.

Namun, ketika seseorang yang masih mengenakan almamater universitas menyuarakan pendapat, dan secara esensinya melaksanakan kewajiban yang diatur pemikiran tersebut, muncul pemikiran bertentangan yang juga dipercayai masyarakat Indonesia secara umum yakni pemuda tidak tahu apa-apa, tugasnya hanya belajar.

Keadaan masyarakat Indonesia yang secara aktif melakukan kemunafikan terstruktur tersebut membawa kita semakin masuk dalam masyarakat Orwellian. Salah satu alat komunikasi doublethink adalah doublespeak.

Doublespeak berarti suatu diksi lembut yang digunakan untuk mendeskripsikan tindakan yang sebenarnya berkonotasi keras. Kita sering menemukan doublespeak pada headline berita Indonesia.

Penyintas pemerkosaan merupakan korban doublespeak paling rentan, karena secara alamiah berita pemerkosaan adalah berita yang mengguncang moral kita semua. Pelaku pemerkosaan akan diberitakan tergoda kemolekan, tergiur, dan tidak mampu mengendalikan nafsu.

ARTIKEL TERKAIT •
Untuk Kamu Yang Sering Sial Jangan Nangis Dulu, Ada loh Cara Untuk Jadi Orang Beruntung

Semua headline tersebut ditulis sedemikian rupa untuk menihilkan atau memberikan kesan mudah dicerna bagi kebenaran yang sama yakni tindak pemaksaan aktivitas seksual, atau pemerkosaan.

Secara sadar penulis berita menuliskan ambiguitas dan mengubah bahasa sehingga terjadi subversi dan kesalahpahaman yang kemudian menyilaukan kebenaran. Simpati yang seharusnya muncul pada penyintas hilang dan digantikan kecurigaan terhadap penyintas.

Mengaburkan Sejarah

Ketika bicara tentang sejarah, tentu tidak ada yang bisa bicara pasti. Selain arkeologi yang bisa membuktikan belulang menggunaan carbon dating, sejarah secara umum adalah ilmu yang tidak pasti. Ini dikarenakan sejarah adalah penceritaan berulang yang konstan dan kebanyakan berasal dari mulut-ke-mulut.

Maka, adage lama bahwa sejarah adalah apa yang dikatakan pemenang itu sedikit banyak ada benarnya. Namun hal tersebut tidak menutup kemungkinan bahwa sejarah yang diceritakan itu memang terbukti.

Indonesia memiliki sejarah kelam, di antaranya sejarah pembunuhan 65-66, sejarah kerusuhan 98, sejarah teror bom, dan lain sebagainya. Berbeda dengan negara Jerman yang mengakui kesalahan dan sejarah kelamnya ketika menopang bendera Nazisme tempo hari saat perang dunia kedua, Indonesia memilih mengaburkan sejarahnya sendiri. Orang Indonesia jarang mengisahkan tentang pembunuhan 65-66 dan menganggap kisah-kisah demikian tabu.

ARTIKEL TERKAIT •
Perjanjian Renville

Masyarakat Orwellian menganggap segala sejarah di luar mandat partai Ingsoc* adalah tidak benar. Ingsoc memiliki kekuasaan terhadap sejarah dalam artian ketika sejarah tidak sesuai dengan keadaan dunia maka sejarah tersebut tidak nyata.

Sebagai contoh adalah sejarah perang. Ketika Oceania berperang dengan Eurasia maka sejarah versi saat itu adalah “Oceania selalu berperang dengan Eurasia, dan tidak dengan Eastasia”, vice versa.

Sebenarnya tidak apa-apa bila Indonesia memberikan predikat tabu bagi sejarah kelamnya, tidak ada yang ingin menyatakan dirinya sendiri salah. Namun berbeda dengan individu, Indonesia adalah negara yang bersifat kolektif.

Artinya, dengan melakukan hal demikian, orang Indonesia secara aktif melakukan penyensoran terhadap keadaan pemikirannya. Bisa saja orang yang berbicara di hadapannya punya kisah nyata mengenai kerusuhan 98 namun karena tabu dan tidak sesuai dengan ideologi negara maka orang itu memilih bungkam.

Pembungkaman Terstruktur

Perdebatan mengenai apa yang dimaksud dalam KUHP Pasal 156(a) marak terjadi di Indonesia. Indonesia memiliki hukum spesial yang mengikat para penista agama. Agama adalah bagian penting tubuh negara Indonesia karena memang termaktub di dasar negaranya, namun Indonesia belum mampu melindungi agama dari penistaan secara konkret dan pasti.

ARTIKEL TERKAIT •
Perbedaan Quick Count, Real Count, dan Exit Poll dalam Penghitungan Suara Pemilu 2024

Apa parameter penistaan? Bagaimana definisi penistaan? Apa yang membedakan penistaan dengan slander? Apa itu penyalahgunaan agama? Pertanyaan demikian pun bisa saja ditentukan sebagai bersifat penistaan.

Agama adalah identitas. Tercatat di KTP bahwa salah satu tanda penduduk sah dan resmi di Indonesia adalah beragama. Maka dasar hukum penistaan ini jelas: untuk melindungi identitas seseorang, yang dalam hal ini adalah agama.

Namun demikian, pada prakteknya hukum penistaan ini sangat subjektif. Apakah misenterpretasi terhadap suatu ayat sama beratnya dengan memasak babi dengan kuah kurma sehingga ancaman penistaan muncul pada kedua kasus?

KUHP Pasal 156(a) menunjukkan satu dari sekian hukum subjektif di Indonesia yang dipertahankan karena mudah untuk menjerat seseorang tanpa harus membuktikan. Contoh lain adalah: tuduhan PKI, tuduhan makar, tuduhan radikal, tuduhan anti-Pancasila, dan tuduhan zina.

Bagaimana membuktikan ideologi seseorang? Membuktikan bahwa seseorang memang menyetujui butir-butir Pancasila? Membuktikan bahwa seseorang tidak sedang berzina? Hukum yang dipertahankan hanya karena terdakwa tidak dapat membela diri ini sesuai dengan cerita Orwell, di mana Ingsoc akan menuduh siapapun yang diinginkannya dengan tuduhan berideologi tidak sejalan dengan Ingsoc sehingga orang tersebut dapat diasingkan dan dihapus dari sejarah.

ARTIKEL TERKAIT •
Agresi Militer Belanda 2

Kesimpulannya, Indonesia sekarang sedang dalam trajectory menuju masyarakat Orwellian. Sedikit lagi masyarakat Indonesia tidak bisa berpikir secara kognitif dan menyerahkan kebebasan berpikirnya pada negara, layaknya masyarakat Oceania pada Ingsoc. Kapan? Tidak ada yang tahu, hanya saja jauh lebih baik anda membekali diri.

*Ingsoc adalah partai yang menguasai negara fiktif Oceania pada novel George Orwell yang berjudul 1984.

Penulis: Khairul Barkatullah
Editor: Yogi Arfan

Tinggalkan Balasan