Apakah demokrasi itu? Demokrasi adalah ‘Pemerintahan Rakyat’. Mekanisme sistem ini memberikan hak penuh kepada seluruh rakyat untuk ikut serta dalam memerintah.
Demokrasi juga merupakan cara pemerintahan yang dicita-citakan oleh semua partai-partai nasionalis di Indonesia. Tetapi, kaum Marhaen pun mesti berhati-hati dan visioner dalam mencita-citakan demokrasi versinya. Dalam artian lain, demokrasi versinya haruslah berbeda dari demokrasi-demokrasi yang kini dipraktikkan di belahan dunia. Memangnya bagaimana penerapan demokrasi di dunia luaran sana? Mari kita ulas bersama-sama secara historisnya.
Demokrasi di luaran sana didominasi oleh dunia Barat—Eropa dan sekitarnya. Cara pemerintahan di dataran Eropa yang berembel-embel demokrasi tidaklah sepenuhnya mengimplementasikannya secara esensial. Kala itu, sistem yang mereka anut adalah otokrasi—kekuasaan pemerintahan secara absolut berada pada genggaman tangan satu orang, yakni dalam tangan raja.
Dalam artian lain, rakyat tidak diperbolehkan bersuara. Rakyat seperti biri-biri yang digiring oleh raja sebagai penggembalanya. Memang, raja-raja seperti ini merupakan otokrat tulen.
Tak sampai disitu saja, di dalam cara pemerintahan otokrasi itu sendiri, raja disokong oleh dua golongan, yakni kaum agamawan dan bangsawan. Kedua golongan ini menjadi bentengnya otokrasi. Gambaran pemerintahan seperti itu bisa dikatakan sebagai masyarakat feodal.
Kemudian, seiring berjalannya waktu, muncullah satu golongan baru yang menamakan dirinya sebagai kaum Borjuis. Mereka memiliki modal finansal, perusahaan-perusahaan, perniagaan, dan komoditas lainnya. Berangkat dari situ, mereka mesti memiliki kekuasaan yang sama halnya yang dimiliki oleh para feodalis-feodalis.
Namun sayangnya, modal atau kepemilikan yang mereka punya tidak cukup. Mereka harus mempunyai kekuatan pergerakan untuk meruntuhkan pemerintahan tersebut. Kemudian, terbesit dalam pikiran mereka untuk menggunakan kekuatan rakyat jelata yang berpotensi dapat menggulingkan kekuasaan. Akhirnya, kaum Borjuis pun melakukan agitasi besar-besaran kepada rakyat jelata yang tertindas dengan dalih kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan.
Rakyat tentu saja hanya menurut dibawah perintah kaum Borjuis, karena bukan tanpa alasan dan sebab yang pasti, tetapi nasib mereka sangat sengsara selama dibawah pemerintahan otokrasi. Di lain sisi, rakyat pun belum sadar bahwa mereka sejatinya dijadikan alat perkakas oleh kaum Borjuis.
Pergerakan menang! Raja, bangsawan, dan agamawan runtuh dibuatnya. Di waktu yang bersamaan juga, sistem pemerintahannya diganti dengan Demokrasi. Dalam negeri baru tersebut diadakannya parlemen, dan rakyat boleh mengirim utusannya ke parlemen itu.
Cara pemerintahan inilah yang kini dipakai oleh hampir seluruh negara di Eropa dan Amerika. Perancis mempunyai parlemen, Inggris mempunyai parlemen, Belanda mempunyai parlemen, Amerika Utara mempunyai parlemen, dan tentunya di semua negeri modern lainnya memiliki hal yang sama. Di semua negeri yang menganut demokrasi pasti memiliki parlemen.
Tetapi, di semua negeri modern itu kapitalisme subur dan merajalela. Di semua negeri modern itu kaum proletar ditindas hidupnya; milliunan kaum pengangguran, upah dan nasib kaum buruh tidak mencukupi kehidupan sehari-hari. Dan, di semua negeri modern itu rakyat tidak selamat, bahkan sesengsara-sengsaranya.
Inikah hasilnya, demokrasi yang dikeramatkan oleh semua orang? Ironis. Semuanya bertumpu pada parlemen! Seluruh kaum proletar kini bisa ikut memilih wakil ke dalam parlemen itu. Dan setiap kaum proletar berhak mengusir orang-orang yang duduk berkuasa di parlemen—menjatuhkan mereka terpelanting dari kursinya. Tetapi pada saat bersamaan juga, kaum proletar yang berontak bisa saja diusir dari pabrik dimana ia bekerja dengan upah seadanya—dilemparkan di atas jalanan, menjadi pengangguran. Inikah demokrasi yang dikeramatkan?
Tidak! Bukan demokrasi tendensius yang seperti itu yang mesti diterapkan di sini. Kaum Marhaen menggugat segala bentuk penindasan yang mengatasnamakan demokrasi secara prinsipil yang hanya mementingkan kepentingannya sendiri. Demokrasi seperti itu hanyalah demokrasi parlemen saja, yakni hanya aspek politik yang dijalankan, tidak dengan aspek ekonomi yang memiliki urgensi lebih tinggi dalam kemaslahatan rakyatnya sebagai prioritas utama dalam menjalankan demokrasi-ekonomi yang selaras dengan cita-cita awal pergerakannya.
Jadi, demokrasi-ekonomi ala Marhaen merupakan kepentingan bersama yang tidak hanya mengenyangkan perut segelintir pihak. Terkultusnya paham revolusioner ini merupakan manifestasi dari kemelaratan kaum Marhaen yang tidak hanya dianut oleh petani dan buruh layaknya kaum proletarian melainkan lebih dari itu.
Kaum Marhaen adalah mereka-mereka yang tidak memiliki sarana alat produksi meskipun hanya untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya pun mesti berleha-leha demi menghidupi dirinya sendiri.
Demokrasi-Ekonomi ala Marhaen adalah demokrasi yang berasaskan nilai-nilai normatif dan humanis yang diimplementasikan menjadi sebuah pemahaman fundamental yang dinamakan sebagai ‘Sosio-Demokrasi’ atau Demokrasi-Masyarakat. Sosio-Demokrasi yang berdikari dan berbaur di dalam masyarakat. Sosio-Demokrasi yang tidak ingin mengabdi kepada segundukan kepentingan saja, tetapi kepentingan universal, yakni masyarakat.
Sosio-Demokrasi pun tidak seperti ala pasca revolusi Perancis, tidak juga seperti demokrasi Amerika, apalagi seperti demokrasi Indonesia kini yang saya lihat sebagai era degradasi demokrasi di Indonesia modern. Sosio-Demokrasi juga adalah demokrasi yang sesungguhnya—mencari solusi dari problematika politik dan ekonomi yang merupakan pondasi dari demokrasi itu sendiri; kemaslahatan negeri dan kelancaran rezeki.