Demokrasi merupakan salah satu paham tulen yang berkembang dan lebih dominan diterapkan di beberapa negara yang menganut bentuk pemerintahan republik dan federal. Ditambah, paham ini memiliki variasi bentuk yang terdiri dari latarbelakang, kondisi, dan kebutuhan suatu negara yang adaptif.
Seperti yang kita ketahui bahwa demokrasi ini jika diartikan secara etimologis berasal dari dua kata yang diserap dari bahasa Yunani kuno, yakni demos yang berarti rakyat, dan kratos yang berarti pemerintahan. Sedangkan, secara terminologis dapat diartikan sebagai mekanisme sistem pemerintahan suatu negara yang berupaya untuk mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara) atas negaranya.
Bagi saya, demokrasi itu sendiri merupakan cara pemerintahan rakyat. Jadi, rakyat diikutsertakan dalam memerintah, bukan hanya diperintah. Cara pemerintahan ini memberikan hak sepenuhnya kepada rakyat. Bukan demokrasi yang digaungkan oleh mulut orang-orang yang sejatinya paling intens dalam menyerukannya, tetapi mereka sendiri yang malah mengkhianatinya. Tidak! Saya mengutuk polarisasi tersebut.
Saya dan Bung Karno tampaknya sepakat mengenai konsep Sosio-Demokrasi. Diambil dari kata sosio yang berarti masyarakat, dan demokrasi dari definisi yang saya jabarkan di atas—demokrasi-masyarakat. Sosio-Demokrasi adalah demokrasi yang berdikari dan kolektif. Menjunjung tinggi nilai-nilai kemasyarakatan. Sosio-Demokrasi juga bukanlah tiruan dari demokrasi ala Revolusi Perancis melainkan demokrasi yang berupaya mensejahterakan kemaslahatan masyarakat.
Terlepas dari itu semua, apakah negara kita Indonesia pada saat ini layak mendapatkan predikat sebagai negara yang demokratis setelah melalui banyaknya lika-liku perjalanan yang cukup rumit demi merealisasikan demokrasi yang sesungguhnya? Mari kita bahas secara jujur dan obyektif.
Banyak sekali catatan buruk yang terbilang krusial mengenai masalah demokrasi di negeri ini, salah satunya adalah tingkat suara masyarakat yang semakin terkikis dalam menyampaikan pendapatnya. Dikutip dari lembaga Survei Indikator Politik Indonesia yang menyebutkan bahwa 36 persen responden menyatakan bahwa Indonesia saat ini jauh dari kata demokratis. Dan, sebesar 17,7 persen responden menyatakan bahwa kondisi Indonesia sekarang lebih demokratis.
Manifestasi dari ketidakpuasan masyarakat di atas merupakan salah satu indikator yang didominasi oleh mayoritas responden masyarakat Indonesia. Hal ini tentu saja tidak boleh dianggap enteng oleh para elite politik dikarenakan penilaian masyarakat tersebut tidak semerta-merta seperti itu, tetapi didasari oleh aspek-aspek nasional yang dinilai tidak sepenuhnya ditunaikan dan ditanggujawabi sepenuhnya oleh pemerintah terkait.
Tentu saja ini menjadi ini PR baru bagi jajaran pemerintahan dan semestinya ditanggulangi dan dievaluasi sesegera mungkin.
Alarm merah tersebut tentunya berpengaruh pada kondisi demokrasi di Indonesia. Hal ini juga menjadi tanda tanya besar mengapa masyarakat tidak berani menyatakan pendapatya dalam lingkungan ekosistem negara yang menganut sistem demokrasi ini. Faktor pokok dalam konsep demokrasi deliberatif yang sejatinya mesti mendorong seluruh masyarakat dalam bersuara.
Seluruh pendapat, dari mulai yang berkualitas maupun sebaliknya dan yang mendukung ataupun menolak mesti diberikan hak yang sama dan setara. Tidak ada diskriminasi pendapat yang sesungguhnya mengkhianati nilai-nilai demokrasi itu sendiri.
Kemudian, berbicara soal perjalanan Indonesia dalam mewujudkan demokrasi yang terkonsolidasi yang memenuhi segala bentuk kebutuhannya—seperti adanya penegakkan hukum yang berjalan dengan baik dan tak pandang siapa yang akan dihukumnya, atau hal yang paling fundamental saja dari demokrasi itu sendiri, yakni terpenuhinya hak-hak sipil. Lantas, apakah Indonesia yang sekarang menunjukkan ataupun mengimplementasikan demokrasi yang seperti itu?
Problematika demokrasi di Indonesia yang terbilang krusial dan masih relevan dengan narasi-narasi sebelumnya di atas adalah absensi atau ketidaksertaan masyarakat sipil yang kritis terhadap kekuasaan, buyarnya pihak oposisi, politik praktis dalam setiap pesta demokrasi, tersendatnya kebebasan berkumpul atau berserikat dikarenakan kebijakan pemerintah yang restriktif, kasus-kasus pelanggaran HAM yang tidak tertuntaskan, intoleransi terhadap kelompok minoritas, dan masih banyak lagi.
Hari ini kita sedang dilanda situasi krisis yang dimiliki oleh suara-suara kritis terhadap kekuasaan dikarenakan hampir seluruh elemen masyarakat sipil yang independen, dari mulai LSM, internal kampus, media, dan lainnya telah merapatkan diri dengan kekuasaan atau alasan lainnya yang memilih untuk berdiam diri demi menghindari persoalan-persoalan yang akan ditanggungnya jikalau mengkritisi pemerintahan.
Dan, diperkuat dengan adanya polarisasi politik yang intens yang menyebabkan Indonesia terbelah menjadi dua kubu, yakni pro-pemerintah dan kontra-pemerintah. Tidak jarang juga apabila ada yang mengkritisi kinerja pemerintah bakalan distigma sebagai anti-pemerintah, pemberontak, separatis, dan fitnahan hina lainnya.
Kemudian ditambah dengan absensi sipil pun dalam menyerukan suara kritis merupakan degradasi demokrasi yang sebetulnya tidak semestinya demikian karena kesadaran dalam menyatakan pendapat tersebut merupakan kekuatan untuk mengontrol kekuasaan.
Baca Juga: Kisah Lengsernya Gus Dur (Presiden R1 Ke-4)
Ancaman kebebasan pers dan berekspresi pun menjadi momok utama bagi orang-orang yang ingin mengimplementasikannya secara eksplisit karena kerentanan dan kerancuan yang terdapat pada UU ITE yang berpotensi mengkriminalisasi orang-orang tersebut. Pemberangusan buku-buku tertentu, pencekalan diskusi buku dan film, dan lainnya merupakan bentuk dari pengkhianatan terhadap hak-hak yang tidak terpenuhi.
Praktik non-demokratis seperti pembubaran ormas tanpa proses hukum, sikap aparat yang sewenang-wenang dan represif dalam mengamankan aksi demonstrasi, dan sebagainya itu menandakan bahwa demokrasi hanyalah angan-angan belaka.
Argh, rasa-rasanya saya ingin sekalian membeberkan degradasi demokrasi selama masa pemerintahan Jokowi untuk yang kedua kalinya ini, masih relevan dan boleh, ’kan?
Beberapa waktu kebelakang, di dalam istana negara, Jokowi pernah menyuarakan komitmennya dalam menjaga demokrasi. Tetapi sayangnya, pada praktiknya sendiri beliau dan koleganya malah membuat kebijakan-kebijakan serta tindakan pemerintah yang represif dan anti-demokrasi dibawah kepemimpinannya.
Salah satunya adalah keputusan Jokowi yang menuai kekecewaan dari masyarakat karena mendukung pengesahan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) meskipun telah dikecam oleh banyak pihak. Tentu saja hal mengindikasikan bahwa keputusan absolut berada dalam genggaman para elite politik tanpa mempertimbangkan aspirasi dari elemen masyrakat yang menyatakan keberatan dan ketidaksetujuannya. Cih, demokrasi semi fasis.
Kemudian, ada represifitas aparat negara dalam mengamankan aksi demonstrasi di berbagai wilayah yang menolak revisi UU KPK dan RKUHP pada bulan September 2019 yang dikenal sebagai Aksi Reformasi Dikorupsi yang diwarnai bentrokan brutal antara aparat dengan massa yang menyebabkan puluhan atau bahkan ratusan nyawa melayang dari elemen masyarakat yang tergabung dalam aksi tersebut. Diantaranya ada dua mahasiswa di Kendari tewas akibat bentrok dengan aparat.
Adapula puluhan mahasiswa serta aktivis yang ditangkapi dan sekaligus dipersekusi di dalam kandang aparat. Bahkan sial*nnya pemerintah akan memberikan sanksi kepada universitas yang mahasiswanya terlibat dalam unjuk rasa. Dan, pengusutan terhadap kasusnya pun tidak dituntaskan dan lenyap begitu saja dari rentetan peristiwa yang terjadi pada saat Aksi Reformasi Dikorupsi.
Sinyal-sinyal anti-demokrasi dari kabinet Jokowi sebetulnya telah bermunculan sebelum rangkaian peristiwa di atas. Hal ini menjadi indikator utama bagi seluruh pihak, terlebih lagi masyarakat sipil agar tetap waspada dan senantiasa menjaga demokrasi.
Isu lainnya yang menarik atensi secara universal adalah tentang penandatanganan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 37 tahun 2019 tentang Jabatan Fungsional TNI. Perpres ini menuai banyak sekali kontroversi karena disinyalir legalisasi penempatan sejumlah perwira TNI di instansi-instansi sipil membangkitkan Dwifungsi ABRI dan tentunya tidak sejalan dengan semangat reformasi itu sendiri.
Sebetulnya kekhawatiran masyarakat sipil bukan tanpa sebab. Pasalnya di masa Orde Baru, Dwifungsi ABRI menjadi perangkat otoritarianisme dan militerisme yang bertanggungjawab atas banyaknya pelanggaran HAM di masa lalu.
Selanjutnya, menyinggung sedikit tentang status demokrasi di Indonesia itu sendiri seperti apa dari masa ke masa. Dikutip dari indeks demokrasi yang bersumber pada The Economist Intellegence Unit yang mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia mengalami penurunan sebesar 0,58 poin dari tahun 2016 menjadi 6,39 pada tahun 2017 dan 2018.
Diperkuat dengan data Badan Pusat Statistik tahun 2018 yang menyatakan bahwa Indonesia juga mengalami penurunan indeks aspek kebebasan sipil sebesar 0,29 poin, dan pada aspek hak-hak politik turun sebesar 0,84 poin dibandingkan tahun 2017.
Baca Juga: Hak Memilih Untuk Tidak Memilih, Golput
Jadi, konklusinya adalah demokrasi memang merupakan suatu sistem yang terus bergerak secara dinamis dalam menuju demokrasi yang substantif. Oleh karena itu, demokrasi sangat bergantung pada aktor-aktor demokrasi—mulai dari aktor pemerintahan hingga sipil.
Kemudian, angka indeks demokrasi Indonesia yang terus menurun setiap tahunnya merupakan peringatan dan perlu dijadikan atensi khusus oleh seluruh pihak yang dipayungi oleh demokrasi. Demokrasi kita harus sesegera mungkin diamankan dari jurang degradasi yang semakin mengkikis kualitas demokrasi kita.