Sebelumnya, tulisan ini bukanlah agitasi yang menyerukan pemboikotan terhadap Pilkada yang akan diselenggarakan pada bulan ini melainkan opini pribadi mengenai hak untuk memilih, dipilih, dan juga tidak keduanya dalam acara politik. Namun, tulisan ini akan mengulas secara gamblang sesuai pada judul yang tertera di atas.
Desember atau bulan terakhir ini, kita akan disuguhkan oleh kontestasi politik yang bergengsi. Meskipun masih dalam kondisi pandemi yang semakin menyeruak, tetapi jajaran pemerintahan tetap saja kekeh untuk melaksanakannya. Ya, Pilkada nama perhelatannya. Pemilihan Kepala Daerah yang diselenggarakan 5 tahun sekali ini tampaknya tidak akan berjalan mulus seperti tahun-tahun sebelumnya, bagaimana tidak, banyak kalangan yang mengecam acara rebutan kursi kekuasaan ini karena disinyalir dapat membuat klaster baru kasus positif Covid-19.
Kemudian, jika pemerintah tetap bersikeras menyelenggarakan sekaligus memberikan kewenangan terhadap lembaga yang bertanggungjawab atas acara ini. Maka, pemerintah itu sendiri mengindikasikan inkonsistensi dan juga kontradiksi terhadap kebijakan mengenai penanganan dan pencegahan terhadap pemutusan rantai Covid-19 ini. Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB) salah satunya yang terus digaungkan oleh pemerintah. Kebijakan ini terdiri dari mulai menerapkan pemakaian masker, menjaga jarak, dan sebagainya. Tidak hanya itu, penutupan sektor ekonomi, pembatasan akses masuk ke rumah sakit, dan juga ranah pendidikan yang tersendat oleh implementasi pembelajaran yang rancu. Hal ini secara eksplisit sudah menjelaskan bahwa pemerintah melakukannya untuk meminimalisir kasus positif Covid-19. Namun sayangnya, jika pemerintah dengan kepala batunya tetap melaksanakan Pilkada dengan berbagai kecaman dan konsekuensinya yang telah diaspirasikan oleh kalangan yang keberatan akan hal itu, maka pemerintah telah menciderai usahanya sendiri.
Narasi di atas hanyalah prolog deskriptif mengenai apa yang akan saya sampaikan selanjutnya. Seperti yang kita ketahui bahwa disetiap pemilihan calon kandidat penguasa di negeri ini, pemikiran kita digiring untuk menetapkan pilihan sebagai kewajiban, bukan sebagai keinginan. Langkah koersif ini biasanya dilakukan oleh kroni-kroni calon kandidat untuk meraup keuntungan suara bagi kandidatnya itu sendiri. Dengan melakukan blusukan lalu mengiming-imingi sepeser uang kepada masyarakat yang mayoritasnya awam mengenai cara politik praktis ini. Siapa yang tidak tergiur akan hasutan tersebut?
Terlepas dari itu, hak dipilih maupun memilih yang dimiliki oleh semua warga negara Indonesia tentunya menjadi keputusan pribadi; dijadikan sebagai kewajiban atau keinginan. Namun, ada satu lagi yang dapat dilakukan oleh warga negara, yakni hak untuk tidak memilih atau yang biasa dikenal sebagai Golpu (Golongan Putih). Sedikit ringkasan mengenai gerakan ini; istilah ini pertama kali diciptakan oleh para aktivis mahasiswa pada tahun 1971 sewaktu masa Orde Baru yang dinilai tidak demokratis. Gerakan ini adalah manifestasi dari pemboikatan yang didasari oleh perlawanan terhadap acara politik yang dinilai sebagai ajang perebutan kursi kekuasaan tanpa memikirkan apa dan siapa yang menjadi tanggungjawabnya setelah salah satunya terpilih jika konteksnya pada pemilihan sekarang. Tentu saja ini melenceng dari substansi dari setiap pemilihan yang diidam-idamkan oleh elemen yang paling akan terkena dampaknya setelah pemilihan tersebut, yakni masyarakat.
Golput ini pun seringkali direduksi maknanya menjadi apatisme politik. Namun, tidak demikian menurut saya. Hak menjadi bagian dari Golput ini merupakan hak pribadi kita untuk tidak memilih atau tidak ikut berpartisipasi dalam salah satu acara politik karena bukan kita bersikap apatis terhadap perpolitikan di negeri ini melainkan bentuk skeptisisme kita terhadap siapa yang akan terpilih nantinya dan keraguan terhadap janji-janji politisnya yang seringkali diingkari oleh calon kandidat yang terpilih, fakta lapangannya seperti itu’kan. Ditambah, disaat wabah seperti ini dapat mengganggu efektivitas dan efisiensi pengimplementasian kontestasi tersebut sehingga kinerjanya tidak akan berjalan lancar, apalagi dengan melibatkan 260 lebih juta jiwa penduduk Indonesia.
Jadi, legitimasi konstitusi ataupun non-konstitusi yang membenarkan bahwa warga negara tidak hanya memiliki hak untuk memilih melainkan diwajibkan untuk memilih itu menurut saya keliru dalam konteks yang saya bicarakan. Seharusnya tidak ada paksaan dalam bersinergi dalam dunia politik. Intinya, hak untuk memilih dan dipilih secara konstitusional adalah legal. Namun, hak untuk tidak memilih juga tidak membenarkan hal di atas karena sama-sama hak masing-masing.