Kisah Ahmad Jabur, Seorang Pemimpin di Desa yang Dihuni Masyarakat Beragama Katolik

Ahmad Jabur, Kepala Desa Yang Dihuni Warga Katolik
Ahmad Jabur, Kepala Desa Yang Dihuni Warga Katolik

Rasanya dunia saat ini sudah semakin tua, dan banyak orang yang mengharapkan dunia yang selalu dinaungi oleh perdamaian. Tanpa adanya isu suku, ras, dan agama yang menyimpang sehingga memicu perpecahan.

Namun, masih banyak orang yang bertikai karena masalah itu. Nah, masalah tersebut tidak berlaku nih di desa ini.

Desa Compang Ndejing namanya, desa ini berada di provinsi Nusa Tenggara Timur. Mayoritas masyarakat yang tinggal disana menganut agama kristen katolik. Akan tetapi, siapa yang sangka ternyata kepala desa yang memimpin mereka adalah orang muslim.

Ahmad Jabur

Ahmad Jabur selaku kepala desa mereka bahkan telah menjabat selama dua tahun. Dan selama ini pun tidak ada permasalahan antara perangkat desa dan penduduknya.

Sebelum menjabat sebagai kepala desa pada tahun 2017 lalu, pria berusia 50 tahun ini pernah maju untuk pemilihan kepala Desa Nagalabang tahun 1992 silam. Namun, saat itu ia kalah oleh lawannya. Perlu digarisbawahi, kekalahan dirinya tidak ada sangkut pautnya karena isu suku, ras, ataupun agama.

Saat memutuskan untuk maju dalam pemilihan kepala desa di Desa Compang Ndejing, ia awalnya ragu karena dirinya berasal dari kalangan minoritas.

“Saat itu saya tidak mau. Alasan saya, saya tidak mungkin terpilih, karena saya dari pihak minoritas. Selama itu memang isu agama dan SARA di akar rumput ramai dibincangkan. Ada yang bilang mengapa mesti yang minoritas pimpin mayoritas.” ucap Ahmad Jabur yang dikutip dari Kompas.com, pada Rabu (19/08).

Berkat dukungan warga sekitar

Ahmad Jabur
Ahmad Jabur | https://katoliknews.com/

Ia menjadi semangat untuk maju dalam pemilihan kepala desa Compang Ndejing berkat dukungan dari kelompok berbasis gereja (KGB). Pada saat itu, sebanyak tujuh kelompok doa di Dusun Purang yang mencalonkan Ahmad Jabur untuk maju.

Warga sekitar mempercayai Jabur bisa memimpin desa Compang Ndejing. Berkat dukungan tersebut, ia memenuhi kualifikasi untuk maju sebagai calon kepala desa.

“Saya jadi termotivasi untuk maju. Saya pun meminta kepada panitia untuk meminta persyaratan. Setelah itu saya lengkapi berkas dan daftar.” Sebut Jabur.

Sebelum pemilihan dilangsungkan, ia merasa saat itu isu sara sedang sangat sensitif-sensitifnya. Akan tetapi, isu tersebut dihilangkan oleh Komunitas Doa dan Pastor Paroki. Pemimpin mereka mengatakan agama bukanlah menjadi sebuah halangan bagi seseorang untuk maju menjadi seorang pemimpin.

Pastor juga menambahkan yang terpenting dari seseorang adalah dinilai dari sifat dan karakternya, bukan dari latar belakang agamanya.

Toleransi Beragama

Ketika pemilihan telah dilaksanakan, menunjukkan hasil bahaw Ahmad Jabur mengungguli tiga calon lainnya.

“Jika dilihat jumlah penduduk, secara logika memang saya tidak terpilih sebagai kepala desa. Saya unggul 82 suara dari 3 orang calon,” ucap Jabur.

Ia juga mengatakan setelah pemilihan dilakukan, sempat ada konflik terjadi. Namun tidak berlangsung lama dan dapat diatasi.

Usai pemilihan memang ada riak-riak kecil, tetapi tidak sampai benturan fisik. Saya pikir itu wajar karena bagian dari ekspresi kecewa,” ujar Jabur.

Ia mengakui, warga di desanya sangat menjunjung tinggi toleransi antar beragama dan memiliki kesadaran tinggi. Ketika sudah terpilih menjadi kepala desa, Ahmad Jabur juga memberikan tempat untuk tim kandidat lawan untuk sama-sama membangun desa.

“Saat saya dilantik, saya imbau kepada warga, kita ini urus negara, bukan agama. Kita harus kompak membangun Desa Compang Ndejing agar terus maju,” tutur Jabur.

Perkataan Ahmad Jabur dibenarkan oleh seorang warga desa Complang Ndejing, bernama Edi Dahal.

Ia berkata, warga disana sangat mengapresiasi tindakan Jabur yang memilih perangkat desa tanpa melihat-lihat dari segi latar belakang orangnya.

“Kami hidup berdampingan dengan baik. Kami di sini tidak pernah membedakan siapa mereka dan kita,” kata Edi.

Edi juga menambahkan sejak Ahmad Jabur menjabat sebagai Kepala Desa, kehidupan di desanya menjadi tentram.

“Kami pilih pemimpin desa, bukan pemimpin agama, sehingga kami tidak pandang dia dari agama apa. Kami nilai dia layak jadi pemimpin desa,” sebut Edi.

Add a comment

Tinggalkan Balasan

Prev Next
Hidupkan Notifikasi OK No thanks