SainsPediaSejarahPedia

Sejarah Penemuan Lempeng Tektonik Bumi

Penemuan lempeng tektonik dimulai ketika orang mulai memperhatikan gambaran benua yang saling cocok seperti permainan puzzle.

Gambaran ini telah di amati oleh Leonardo da Vinci pada abad ke-15, Francis Bacon dan pembuat peta Belanda Abraham Ortelius pada abad ke-16, serta ahli alam George Buffon dan Alexander von Humboldt pada abad ke-18.

Pada tahun 1858, ahli geografi Antonio snider-Pelligrini membuat peta pertama yang menggambarkan benua-benua dahulunya mungkin bersatu. Pada waktu itu diperkirakan ada gempa bumi yang sangat dahsyat atau banjir yang diceritakan dalam Alkitab yang menyebabkan benua yang dahulunya menyatu mengalami perpecahan besar.

Teori Radikal dan Pergerakan Benua

Kemudian pada awal tahun 1900-an Alfred Wegener, meteorologi muda Jerman mengajukan sebuah teori “radikal” berdasarkan bukti yang dinamakannya pergerakan benua. Wegener menyatakan bahwa lebih dari 200 juta tahun lalu benua-benua merupakan sebuah superkontinen yang besar dan bahwa sekitar 100 sampai 150 juta tahun lalu benua besar ini pecah, benua-benua saling bergerak menjauh dan cerukan laut yang besar terbentuk di antaranya.

Images 1 1
Source Image

Wegener mendasarkan teori pergerakan benuanya pada beberapa bukti geologi yang kuat. Adanya persamaan fosil dan batuan di pantai-pantai yang sekarang berjauhan memperkuat cocoknya garis-garis pantai sebagai bukti adanya superkontinen kuno.

Wegener mengusulkan sebuah analogi sederhana tetapi elegan

“Sama seperti menyusun kembali sobekan-sobekan koran dengan menyamakan ujung-ujungnya dan kemudian memeriksa apakah garis-garis cetakan telah sesuai. Jika sama, tidak ada kesimpulan lain selain kesimpulan bahwa kepingan-kepingan itu memang tergabung seperti ini”.

Bagi Wegener, fosil dan batuan adalah cetakan dan benua adalah kertas korannya. Ia juga menemukan bahwa fosil yang khas di suatu iklim, sekarang ditemukan di iklim yang sangat berbeda sekarang.

Di lembah Afrika yang panas dan kering, ia menemukan timbunan glasial dan di daerah kutub yang dingin ia menemukan fosil tanaman yang menunjukkan bahwa daerah itu dulunya beriklim tropis. Wegener juga menemukan timbunan batu bara di Antartika yang mengindikasikan iklim sebelumnya yang panas dan adanya tanaman tropis.

Ia menduga penemuan-penemuan aneh ini hanya dapat dijelaskan dengan teori pergerakan benua. Iklim daerah-daerah ini pasti telah berubah seiring bergeraknya benua secara perlahan-lahan di sepanjang permukaan Bumi, bergerak melewati ruang dan waktu.

Ia juga memerhatikan bahwa di wilayah Nordik (Norwegia, Swedia, dan Finlandia), melelehnya daratan es (glasial) kuno dan hilangnya berat es tersebut diikuti dengan naiknya lapisan tanah (proses ini sekarang dikenal sebagai glacial rebound).

Wegener menyimpulkan bahwa jika tanah bagian bawah dapat bergerak secara vertikal, juga dapat bergeser di sepanjang permukaan Bumi dan bahwa pegunungan yang terbentuk dari lipatan batuan dapat menjadi bukti dari gerakan horizontal ini.

Sayangnya Wegener memperkenalkan teorinya ketika sebagian besar ilmuan bersikukuh dan percaya bahwa benua dan lautan adalah hal yang tetap di permukaan Bumi. Rollin Chamberlain dari University of Chicago secara terang-terangan menunjukkan reaksinya terhadap hipotesis Wegener.

“Mungkinkah geologi dapat disebut ilmu pengetahuan jika teori seperti ini tidak terkontrol.” Geolog lain yang terkenal dan dihormati menyebut teori ini sebagai “hal yang benar-benar tidak masuk akal!”

Bukti-bukti Wegener sebagian besar bersifat kualitatif dan terdapat kelemahan fatal dalam teorinya. Ia tidak bisa menjelaskan secara logis bagaimana benua bisa bergerak. Apa yang menyebabkannya?

Teori Pergerakan Bumi Wegener Kurang Diterima

Ilmuwan di seluruh dunia terutama di Amerika Serikat menganggap teorinya tidak terbukti dan tidak dapat dipercaya. Tanpa bukti-bukti lain yang lebih baik dan definitif, teori pergerakan benua di abaikan selama lebih dari setengah abad. Walaupun demikian, Wegener tetap berusaha untuk menemukan bukti kebenaran teorinya sampai kematiannya pada tahun 1930 dalam sebuah ekspedisi melintasi tudung es Greenland.

Kunci geologi untuk membuka tabir misteri lempeng tektonik berasal dari perkembangan teknologi yang memungkinkan pengkajian mendetail tentang dasar laut untuk pertama kalinya. Ini merupakan terobosan yang disebut sebagai kombinasi yang baik antara analis dan kebetulan, atau kalah tidak disebut sebagai keberuntungan semata (Dickinson).

Sebelum PD I, teknologi untuk mempelajari dasar laut dan pengertian terhadap lautan beserta lapisan sedimennya sangat rendah. Kedalaman diukur dengan sounding menggunakan tali atau kabel panjang yang diberi pemberat pada ujungnya, sedangkan sedimen dikumpulkan dengan operasi pengerukan yang sulit dan sangat lama.

Setelah PD I, sistem sonar primitif dikembangkan untuk mengukur kedalaman laut dengan memantulkan denyutan bunyi dari dasar laut dan mencatat waktu kembalinya ke kapal tersebut.

Teknik ini dikenal dengan teori gema. Survei yang rinci tentang kedalam laut (batimetri) dimulai dengan menggunakan teori gema ini. Pada tahun 1950-an survei-survei ini menemukan deretan gunung besar yang mengelilingi Bumi di bawah laut yang disebut pematang tengah samudra.

Walaupun telah ditemukan adanya wilayah bertopografi tinggi yang mungkin sebuah dataran tinggi (Plato) pada tahun 1920-an dalam Ekspedisi Meteor, baru pada tahun 1950-an para ilmuwan mengakui keberadaan dan bentuk alam dari sistem pematang (pematang adalah punggung bukit di dasar laut).

Pematang tengah samudra dapat mencapai ketinggian rata-rata 4.500 meter di atas dasar laut dan mengelilingi Bumi lebih dari 60.000 km. Meskipun merupakan bentukan topografik yang paling penting di Bumi, anehnya sistem pematang tengah samudra baru ditemukan pada pertengahan abad ke-20.

Setelah PD II, perkembangan teknologi kelautan yang lebih maju dan bertambahnya ketertarikan pada laut dan dasar laut membawa pada dua penemuan yang lebih mengejutkan.

Ilmuwan menemukan variasi magnetik yang aneh di dasar laut dengan menggunakan alat yang disebut magnetometer yang dahulunya digunakan untuk mendeteksi kapal selam. Saat batuan leleh mengandung partikel atau mineral magnetik, maka kemacetannya menjadi sejajar dengan Medan magnet Bumi, sama seperti kompas.

Sebuah magnetometer mengukur arah dan sudut atau penyimpangan kemagnetan bantuan. Sekarang, sifat magnetik pada batuan yang membeku di permukaan menunjukkan arah Utara. Penyimpangannya tergantung pada garis lintang tempat batuan tersebut membeku.

Medan Magnet dan Polaritas

Magnett
Source Image: bobo

Pada tahun 1950-an ahli kelautan bekerja sama dengan Badan Penelitian Angkatan Laut Amerika Serikat menemukan sebuah anomali atau variasi magnetik berpola seperti zebra di dasar laut. Pada tahun 1963, Fred Vine dan Drummond Matthews dari Badan Survei Geologi Kanada mengajukan teori bahwa pola magnetik bergaris-garis ini dihasilkan oleh pembalikan Medan magnet Bumi yang berulang-ulang.

Geolog yang mempelajari batuan di daratan sebelumnya berteori bahwa sepanjang sejarah Bumi, medan magnet Bumi telah berbalik beberapakali. Sekarang kompas selalu menunjuk arah utara saat disejajarkan dengan medan magnet Bumi; ini disebut polaritas normal.

Kompas akan menunjuk ke arah selatan karena medan magnet Bumi berbalik, ini disebut polaritas terbalik. Pada saat ini, para ilmuwan setuju bahwa pembalikan terjadi lebih dari 100 kali dalam 75 juta tahun terakhir, tetapi mereka masih belum bagaimana dan mengapa itu terjadi.

Mungkinkah kapal dengan navigasi kompas suatu hari nanti akan tersesat atau berputar-putar karena jarum kompas secara tiba-tiba menunjuk ke arah selatan? Atau akankah kompas mulai menunjuk ke arah selatan secara bertahap, dan jika demikian apakah yang memicu perubahan itu?

Vine dan Matthews menyatakan bahwa garis-garis di dasar laut yaitu variasi (anomali) magnetik baik positif maupun negatif mencerminkan formasi saat polaritas normal dan polaritas terbalik.

Namun yang paling menimbulkan pertanyaan mengapa garis-garis magnetik itu memanjang sejajar dengan pematang tengah samudra, dengan jarak dan lebar yang sama di kedua sisinya dari puncak pematang.

Setahun sebelumnya, yaitu tahun 1962, Harry Hess dari Princeton university, seorang pengagum Wegener mengajukan spekulasi bahwa kerak samudra tercipta karena aktivitas gunung berapi di puncak pematang tengah samudra, menyebar sampai akhirnya hancur di Palung laut dalam.

Hess dan rekannya Robert Dietz menamakan proses ini pelamparan dasar laut (sea floor spreading). Hal ini memperkuat penjelasan Vine dan Matthews mengenai garis-garis magnetik. Dasar laut dapat dianggap seperti tape recorder magnetik. Pada sumbu pematang, kerak samudra yang baru terbentuk mulai mendingin dan menjadi sejajar dengan medan magnet.

Pelamparan dasar laut kemudian perlahan-lahan menggerakkan kerak pada kedua sisi sumbu pematang. Dengan berlalunya waktu ditambah dengan adanya pembalikan medan magnet yang berulang-ulang dan pelamparan dasar laut yang terus-menerus, terbentuklah pola yang menyerupai zebra simetris di sumbu pematang.

Pembuktian pelamparan dasar laut dan hubungannya dengan garis magnetik seperti zebra muncul pada saat Proyek Pengeboran Laut Dalam (PPLD) dimulai. Dengan menggunakan kapal yang di rancang khusus dan pipa bor sepanjang kurang lebih 6.100 meter, proyek ini menemukan dan mengambil sampel dari dasar laut. Hal ini merupakan pencapaian yang luar biasa, seperti mengebor lubang di trotoar New York dengan seutas spaghetti di tengah malam, dibuai angin, dari atap Empire State Building.

Data PPLD membuktikan dengan adanya peningkatan jarak dan sumbu pematang, umur kerak bumi juga meningkatkan dasar laut terbentuk pada sumbu dan menyebar keluar seiring dengan waktu. Dua pengamatan lain yang menarik menyokong ide radikal Hess mengenai pelamparan dasar laut.

Ahli kelautan dan geolog sebelumnya telah diselubungi pertanyaan mengapa walaupun umur Bumi lebih kurang 4,5 miliyar tahun namun umur dasar laut jauh lebih muda, dengan hanya dilapisi oleh sedimen yang relatif tipis dan fosil yang usianya tidak lebih tua dari 180 juta tahun.

Pada tahun 1965 ilmuwan Kanada, J Tuzo Wilson mengajukan gagasan yang menyatukan teori pergerakan benua dengan pelamparan dasar laut dan menjelaskan mengenai dua hasil pengamatan terakhir ini.

Wilson, yang telah meneliti gempa bumi dan penujaman di kerak samudra, mengusulkan bahwa lapisan luar bumi yang keras terpecah menjadi beberapa lempeng yang bergerak. Pemusatan dan penghancuran lempeng di Palung laut mengimbangi penyebaran pematang tengah samudra.

Patahan di sepanjang pematang yang disebutnya sesar transformasi memungkinkan terjadinya pergerakan lempeng yang relatif datar di sepanjang permukaan lengkung Bumi.

Distribusi gempa Bumi dan gunung berapi memperkuat kepercayaan pada ide bahwa Bumi terbagi-bagi menjadi bagian-bagian yang menyerupai lempeng.

Hancurnya kerak-kerak samudra di Palung dapat dianggap terjadi karena lapisan sedimen relatif tipis dan usia dasar laut yang masih muda—dasar laut dan lapisan sedimen yang lebih tua didaur ulang kembali ke dalam Bumi.

Fosil yang Membutkikan 3 Benua Pernah Terhubung

Pada akhir tahun 1960-an penemuan fosil baru juga membuktikan ide bahwa benua-benua bergerak dan berpindah di permukaan Bumi. Di Antartika, peneliti menemukan fosil reptilia seukuran domba yaitu Lystrosaurus, mirip dengan fosil yang ditemukan di Afrika dan India  yang berusia 200 juta tahun.

Ini menunjukkan bahwa dahulu Antartika, Afrika, dan India pernah terhubung. Sepanjang tahun 1960-an dan 1970-an bukti dan dukungan teori lempeng tektonik semakin banyak. Dan tidak lama kemudian kepingan-kepingan yang hilang disatuka kembali, termasuk penyebabnya.

Komunitas ilmuwan menemukan cara baru untuk melihat Bumi dan kekuatan-kekuatan yang membentuk dan mencetak permukaannya.  Hal yang semula hanya teori berubah menjadi dogma yang diterima, dan semua buku acuan harus ditulis ulang. Kita tidak lagi menyebut “teori” pergeseran benua atau lempeng tektonik saja, tetapi cukup dengan lempeng tektonik saja.

Beberapa penemuan ilmiah lempeng tektonik membantu kita mengerti bentuk Bumi yang sekarang, masa lalu dan di masa mendatang serta kekuatannya yang amat besar dan menakutkan.

Sebelum era lempeng tektonik dan penelitian di bidang ilmu pengetahuan Bumi modern, orang secara umum percaya bahwa planet Bumi ini padat sepanjang kedalamannya dan mempunyai permukaan yang tetap. Tetapi, Bumi saat ini dikenal sebagai bola dinamis dengan panas bumi yang bergeser dan berubah sepanjang waktu.

Permukaan planet yang keras relatif tipis terbentuk dari beberapa lempengan-lempengan  kaku yang saling mengunci, bergerak di atas lapisan material yang lebih panas dan cair—mirip seperti batang permen dengan lapisan cokelat yang keras dan tipis mengelilingi lapisan karamel di bawahnya yang lebih lunak. Lapisan dalam Bumi berperan penting pada lempeng tektonik dan sifat amukan Bumi. [iS]

Penulis: Idhar Sugandi Abigali
Editor: Yogi Arfan

Leave Comment

Related Posts