Bayangkan jika anda punya sahabat yang mengajarkan banyak hal, sahabat yang ikut menjaga dan merawat anda saat demam terserang typus, sahabat yang rela menyisihkan makanannya untuk anda, sahabat berbagi tempat tidur, sahabat tempat berbagi cerita tentang idealisme, cita-cita dan tentu saja wanita.
Tahunan sama-sama hidup menderita, menahan lapar agar bisa cicipi pendidikan layak. Sahabat tempat meminjam uang tatkala kiriman dari orang tua tak kunjung datang, sahabat yang benar-benar sudah seperti saudara sendiri. Tahunan kalian hidup bersama tinggal dikost-kostan kecil, merajut mimpi untuk jadi pemimpin negeri. Ketika saat itu tiba, anda malah diharuskan untuk menjatuhkan vonis hukuman mati pada sahabat tadi.
Kisah ini nyata adanya. Muso, Alimin, Soekarno, Kartosuwirjo. Empat orang anak muda dengan semangat progresif dan idealisme tinggi, ngekost bareng dirumah HOS Tjokroaminoto jalan Peneleh Surabaya. Kebetulan si empunya kost-kostan adalah seorang maniak kutu buku, jadilah ke empat anak muda tadi terpuaskan dahaganya akan ilmu.
Menekuni Berbagai Bidang Ilmu
Berbagai macam buku mereka baca, dari mengkaji Qur’an, kitab kuning, sejarah Islam, sejarah renaissance di Eropa, buku-buku Adam Smith bapak kapitalis hingga Karl Marx pencetus ajaran komunis. Kepala mereka penuh dengan berbagai macam teori yang pada akhirnya terbawa mewarnai derap langkah kehidupan empat anak muda tadi.
Muso dan Alimin yang sejatinya berasal dari keluarga santri, akhirnya jadi komunis tulen. Kartosuwirjo walau tiap malam berjibaku membaca buku-buku komunis dan kapitalis, malah jadi fanatik pada syariat Islam. Soekarno sendiri melahirkan Marhaenisme sebagai ideologi baru, hasil sintesa dari berbagai buku yang dbacanya dulu.
Nasehat sang bapak kost kepada empat anak muda kurus tadi, “jika kalian ingin jadi pemimpin besar, menulislah layaknya wartawan, bicaralah seperti orator ulung”. Maka riuhlah kost-kostan dengan suara menggelegar dari pemuda-pemuda tadi, selain sibuk membaca ternyata mereka juga belajar berpidato. Tentu Soekarno jadi juaranya, bakat orator memang sudah terlihat sejak ia masih muda.
Menjadi Pemimpin
Time goes fly, derap langkah kehidupan membawa mereka jadi pemimpin di komunitasnya masing-masing. Muso dan Alimin jadi pucuk pimpinan Partai berhaluan komunis, Kartosuwirjo jadi tangan kanan Tjokroaminoto meneruskan estafet kepemimpinan Syarekat Islam. Soekarno sendiri jadi pimpinan partai berhaluan nasionalis. Tiba saatnya ketika persahabatan empat sekawan tadi diuji karena perbedaan ideologi.
Soekarno jadi presiden RI. Merasa tak puas dengan arah kebijakan Soekarno yang dianggap banci, ditahun 1948 Muso dan Alimin mendirikan poros Soviet, lalu jadi dalang pemberontakan PKI di Madiun. Atas restu Soekarno, oleh TNI pemberontakan tadi dibasmi, keduanya lalu dihukum mati karena dianggap menganggu stabilitas politik Republik yang baru berdiri.
Setahun sesudah itu, pemberontakan yang lebih hebat lahir diprakarsai oleh Kartosuwirjo, ia mendirikan DI/TII dan resmi memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia di Tasikmalaya pada tanggal 7 agustus 1949. Tiga tahun lamanya TNI bergulat menumpas gerakan itu, akhirnya Kartosuwirjo tertangkap dibulan juni 1962.
Soekarno yang Kembali Dilema
Sekali lagi, Soekarno dihadapkan pada dilema sulit. Dua sahabatnya telah ia kirim ke akhirat, kini menyusul lagi seorang sahabat yang dulu sangat menyayangi dirinya. Soekarno masih ingat, Kartosuwirjo lah yang melindunginya ketika ia diganggu oleh berandalan kampung di Surabaya dulu. Kartosuwirjo yang merawat Soekarno saat sakit typus dulu.
Proses eksekusi terhadap Kartosuwirjo sempat tertunda hingga tiga bulan lamanya. Soekarno selalu menyingkirkan berkas vonis mati atas diri Kartosuwirjo manakala berkas itu berada di atas meja kerjanya. Eksekusi sang sahabat hanya tinggal menunggu tanda tangannya. Hingga suatu hari sesudah menunaikan sholat maghrib, setelah bergumul panjang dalam istikharahnya, Soekarno menandatangani surat eksekusi terhadap sahabatnya sendiri.
Sungguh tak mudah jadi negarawan, karena ia harus mampu mengabaikan romansa masa lalu demi kepentingan yang lebih besar. Ditengah teriakan saling benci yang dilontarkan di sosial media, sejatinya itu belum ada apa-apanya dengan pergolakan hati Soekarno. Mampukah kita seperti beliau saat jadi pemimpin? Mampukah kita mengabaikan persahabatan yang tulus sekedar untuk menyelamatkan kepentingan bangsa dan negara?
Politik itu mengabaikan empati. Ada saatnya sang pemimpin diharuskan membuat kebijakan yang kontra dengan nurani. Pastinya Soekarno menangis tatkala tandatangani surat eksekusi tadi. Namun esok, ia sibukkan kembali dirinya mengumbar pesona, memikat hati para wanita. Yah, sekedar pelarian dari dilema akan kehilangan sahabat lama, karena tiap manusia membutuhkan hiburan agar tak gila dengan problematika. Wanita buat Soekarno bisa moved on, untuk sejenak melupakan intrik dari rumitnya menjaga persatuan bangsa.
Credit: Muslim