Di beberapa kasus ada banyak orangtua yang meminta anaknya agar mengikuti bimbingan belajar. Ada juga kasus, justru anaknya yang merengek ke orangtua, agar ia mengikuti bimbingan belajar. Kita tinjau alasannya satu per satu.
Pada umumnya alasan orang tua menyuruh anaknya agar ikut bimbel adalah karena merasa pemberian pelajaran formal di sekolah dirasa kurang cukup memadai dalam memberikan materi.
Sedangkan alasan seorang anak meminta bimbel kepada orang tuanya, pada umumnya karena bimbel menjadi sebuah trend, tapi ada juga yang merasa karena mata pelajaran di sekolah yang di berikan oleh guru tidaklah optimal.
Jika kita telisik lebih jauh, anak-anak ikut bimbel karena di bimbel diberi rumus-rumus singkat, atau cara-cara mudah untuk mengerjakan soal, di bimbel banyak diberi latihan soal-soal yang terkadang soal-soal itu mirip dengan soal ujian nasional, guru di sekolah tidak enak mengajarnya atau guru disekolah galak. Ini menurut saya sepenggal alasan umum.
Lazim sekali di era sekarang kita lihat dan saksikan di media-media informasi, begitu banyak aplikasi untuk bimbel, sebut saja Ruang Guru, Zenius, BimbelSmart, dan masih banyak yang lainnya.
Masalah mengikuti bimbingan belajar atau les privat sudah mewabah, sudah menjadi sebuah “trend.” Dan bukan main penggunanya juga begitu banyak, namun satu pertanyaan khas dari om M. Musrofi seorang Research and Development Director di Global Talent, “Apakah pelajaran di sekolah tidak cukup?”
Segitiga Pendidikan Yang Tidak Seimbang
Di dalam sistem pendidikan ada tiga pelaku yang memiliki pengaruh besar pada anak atau siswa. Tiga pelaku itu adalah orang tua, guru dan siswa itu sendiri. Atau kita sebut saja segitiga pendidikan.
Oke sebenarnya masih banyak pelaku-pelaku lain yang berpengaruh anak; misalnya: kakak-adiknya atau juga teman-temannya. Namun di sini yang kita bahas adalah tiga pelaku utama seperti yang disebutkan di atas.
Orangtua
Apa peran orangtua dalam segitiga itu?
1. Sumber dana untuk pembiayaan pendidikan si anak
2. Bertindak sebagai “guru di rumah”, mengajari anak-anak mengerjakan pekerjaan rumah (PR)
Bertindak sebagai “polisi” terhadap anak, dan menempatkan anak dalam posisi sebagai objek yang selalu disalahkan. Jika prestasi akademik anak rendah, jarang ada orang tua yang melakukan intropeksi diri “apa yang kurang atau yang salah dari saya”. Yang sering kali terjadi adalah “apa yang kurang atau yang salah dari anak saya.”
3. Bertindak sebagai “polisi” terhadap guru
Bila prestasi akademik anak rendah, tidak sedikit orang tua yang menyalahkan guru. Seperti sikap orang tua kepada anaknya, jika prestasi akademik anak rendah, jarang ada orang tua yang melakukan intropeksi “apa yang salah atau kurang dari saya”, tetapi yang sering kali terjadi adalah “apa yang kurang atau yang salah dari guru anak saya.”
Guru
Sementara tidak sedikit guru dalam segitiga pendidikan itu yang bertindak sebagai berikut:
1. Guru sebagai penyampai materi yang begitu padat kepada para peserta didik
Guru mengejar target materi dalam waktu yang terbatas. Akibatnya, guru merasa “sudah benar” jika semua materi sudah disampaikan ke peserta didik sesuai waktu yang di tentukan bahkan lebih awal.
Jadi fokus perhatian guru adalah pada “penyelesaian target materi pelajaran yang harus disampaikan ke peserta didik”, bukan pada “apakah yang disampaikan itu sudah dipahami oleh para peserta didiknya.” Tentu saja tidak semua guru seperti ini.
Mungkin karena merasa bahwa tugas utamanya adalah merampungkan target materi pelajaran yang harus diajarkan ke para siswa tersebut, maka selama ini pihak sekolah tidak merasa bersalah apabila ada peserta didik atau justru kebanyakan siswa mengikuti les privat atau bimbel.
Bukankah adanya les privat atau bimbel itu menandakan bahwa siswa masih merasa kurang dengan belajar di sekolah? Entah kurang paham, kurang senang dsb.
Jarang disinggung pertanyaan ini, “Mengapa pihak sekolah atau guru tidak malu apabila mengetahui para peserta didiknya masih mengikuti les privat atau bimbel agar prestasi akademik di sekolah meningkat atau ujian nasional bisa mendapat nilai yang bagus?”
Bukankah dengan mengikuti les privat atau bimbel tersebut berarti jam belajar peserta didik bertambah —yang sesungguhnya mereka sudah kelebihan jam belajar— dan juga bertambahnya dana yang harus dikeluarkan?
2. Guru juga jarang melakukan intropeksi terhadap cara mengajarnya
Sebagai ilustrasi: Jika dari 30 siswa di kelas, misalnya, yang mendapat nilai 5 untuk mata pelajaran matematika sebanyak 10 siswa, yang mendapat nilai 7 sebanyak 15 siswa, yang mendapat nilai 9 sebanyak 3 siswa dan yang mendapat nilai 10 sebanyak 2 siswa; maka guru tidak merasa bersalah terhadap siswa yang mendapat nilai 5 tadi.
Mengapa tidak merasa bersalah? Karena ada siswa yang mendapat nilai 7,9, dan 10. “Ini ‘kan berarti bukan salah guru? ” Bukankah demikian cara berpikirnya?
Siswa
Tidak sedikit anak atu peserta didik dalam segitiga pendidikan itu diperankan sebagai obyek yang diatur, bukan sebagai subyek yang disirami, dipupuk, atau dipelihara.
Anak selalu dalam posisi salah. Misal saja, seseorang anak mendapat nilai 5 untuk matematika. Maka tanpa disadari, yang disalahkan segitiga sistem itu adalah si anak, entah dikatakan karena dia sulit untuk diajari, malas, tidak mau belajar, bandel, tulisannya jelek, dan kata-kata lain yang memojokkan si anak itu. Kata-kata yang menunjukkan bahwa yang salah adalah si anak itu.
Anak sebagai objek yang diatur secara seragam, bukan sebagai subyek yang unik yang perlu penanganan secara unik pula. Selalu saja, ada pertanyaan mengenai hal ini, bagaimana menangani keunikan masing-masing anak di kelas yang jumlahnya puluhan anak?
Nah, itu dia segitiga sistem yang tidak seimbang, dan menjadikan alasan umum seorang peserta didik memiliki untuk bimbel atau pelajaran tambahan. Maka jika dilihat dari kacamata lain, disini sekolah itu hanyalah tempat untuk mengukur, menguji atau bahkan menjadi alat untuk menghitung ukuran pengetahuan peserta didik, bukannya sebagai wadah untuk memberikan pelajaran yang mudah di pahami.
Banyak kita temukan guru atau tenaga pengajar di beberapa sekolah di Indonesia yang hanya memberikan catatan atau menyuruh anak untuk menyalin materi dari buku paket ke buku catatan, lalu minggu depannya baru di jelaskan atau langsung di beri ulangan harian, biasanya itu semua karena guru yang malas.
Ada juga tenaga pengajar yang datang ke kelas hanya membawa daftar absensi, mendata, memberikan tugas lalu keluar dengan menitipkan pesan agar tugas itu nantinya di kumpul di mejanya.
Bisa dikatakan, guru hanyalah sebagai pencetak angka rapor anak, kalau begitu kenapa disebut guru? Mengapa harus ada guru jika anak paham dengan sebuah materi karena hasil bimbel atau les privat yang Ia dapatkan di luar jam sekolah, yang mengorbankan waktu bermainnya untuk mempelajari materi yang abstrak yang diberikan oleh guru di sekolah?
Oleh Sugandi Gen
Editor: Yogi Arfan