Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib: Manusia-Manusia Baru Pasca Kemerdekaan

jaswanto.soehokgie

Dikutip dari harian Kompas pada bulan Agustus 1969 yang bertepatan dengan Hari Ulang Tahun kemerdekaan RI yang ke-24 yang bertuliskan sebagai berikut: “Tanpa kita sadari di bumi Indonesia kini telah tumbuh suatu lapisan baru—pemuda-pemudi Indonesia yang dilahirkan setelah tahun 1945—generasi kemerdekaan Indonesia.”

Merujuk pada kutipan di atas, saya menempatkan Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib sebagai pelopor angkatan pasca ’45. Gie lahir pada tanggal 17 Desember 1942, sedangkan Wahib lahir pada tanggal 9 November 1942. Meskipun keduanya terlahir sebelum kemerdekaan, dan dalam artian lain mereka terpelanting secara kategoris dalam lapisan baru yang dimaksud. Tetapi, dengan gaya bahasa Gie yang mengatakan bahwa hal ini bukanlah sebuah persoalan apabila kelahiran lapisan baru tersebut melangkahi kelahirannya.

Baca Juga: Demokrasi Dalam Kacamata Bung Hatta

Hal ini bukanlah semata-mata karena ia menganggap dirinya sebagai, ‘Manusia Baru’ tetapi yang dipentingkannya adalah mereka yang mengalami sesuatu yang baru atau mereka yang memiliki modal pengalaman-pengalaman politik dan sosial yang baru, yang pada akhirnya membentuk manusia baru dengan harapan baru; semangat baru dan bahkan dengan keprihatinan ataupun ketakutan baru pula.

Gie dan Wahib merupakan aktivis mahasiswa, pemikir, penulis—loyalitas keduanya dalam menekuni catatan harian tidak perlu diragukan dan dipertanyakan lagi. Keduanya hampir tidak lepas dan lelah dalam memberikan komentar terhadap peristiwa-peristiwa yang bergejolak di negeri ini kala itu. Dan, nahasnya, keduanya sama-sama mengalami nasib yang sama, yakni mati muda.

Selain daripada itu, latarbelakang kehidupan masing-masing dari keduanya pun terlihat menohok. Soe Hok Gie lahir dan dibesarkan di Jakarta yang dimana hampir semua jenis pergulatan hidup terjadi di sini. Sedangkan Ahmad Wahib lahir di dalam lingkungan santri di Sampang, Madura. Manusia-manusia yang dididik dalam optimisme dan manusia yang mengalami kehancuran, baik itu cita-cita maupun kepercayaan.

Keduanya memiliki catatan harian yang kemudian dibukukan untuk konsumsi publik bagi mereka-mereka yang ingin dibawa ke dimensi dimana Gie dan Wahib menggeluti sebagai mahasiswa Indonesia angkatan ’66. Catatan harian Gie dibukukan dengan judul, ‘Catatan Harian Sang Demontran’ dan catatan harian Wahib yang berjudul, ‘Pergolakan Pemikiran Islam’.

Soe Hok Gie merupakan seorang mahasiswa dari Universitas Indonesia yang bergelut di Fakultas Ilmu Budaya—Ilmu Sejarah, jadi tak heran apabila kita seringkali menemukan namanya dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, khususnya terkait dengan aksi demonstrasi mahasiswa dan dalam karya tulisnya yang dibukukan.

Baca Juga: EKSPLOITASI ANAK: HAK-HAK ANAK YANG DIRENGGUT

Ahmad Wahib merupakan seorang mahasiswa FIA UGM yang berasal dari lingkungan pesantren tradisionalis di Madura. Pemuda yang kerap kali disebut sebagai Pembaharu Islam ini sempat mengabdikan diri di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Pemikiran-pemikirannya dinilai terlalu bebas dan liar dan seringkali berseberangan dengan nilai-nilai prinsipiil kepercayaannya.

Gie dan Wahib memiliki kesamaan dalam memandang hidup ini secara dominan dengan kecemasan, ketakutan, keraguan, dan lainnya. Alhasil yang didapatkan pun adalah kehidupan yang serba hitam. Gie gemar mengutip kutipan seorang filsuf Yunani yang berkata: “Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi muda, dan yang tersial adalah umur tua.” rasa-rasanya memang begitu.

Berbahagialah mereka yang mati muda. Sedangkan Wahib begitu didominir oleh keraguan, kecemasan, dan ketakutan: “Semuanya ini membuat aku cemas menghadapi masa depan. Gairah, senang, tapi di lain pihak putus asa, takut, cemas dan lain-lain.”

Berangkat dari situ, kita dapat menyimpulkan bahwa terlepas dari karakteristik Gie dan Wahib yang visioner; pemikir bebas; konseptor di beberapa aksi demonstrasi pada masanya, ternyata kedua tokoh muda ini memiliki ke-skeptisan progresifnya masing-masing tetapi pada dasarnya mereka tidak menjadi mati gerak akibat daripada itu melainkan dari kekelaman dan kesuramanlah mereka senantiasa selalu bersikap dinamis, mencari, meragukan, mempertanyakan, dan membongkar segala-galanya.

Terakhir, sebagai penutupan. Bagi saya, Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib ini berdasarkan literatur-literatur yang saya baca mengenai pemikiran-pemikirannya yang tertuang dalam karya tulis masing-masing yang cukup lugas dan berani merupakan suatu manifestasi dari kebebasan pasca kemerdekaan dari masa kolonialisme dan imperialisme yang tidak membiarkan generasi baru atau muda untuk beregenerasi.

Baca Juga: Anarkisme: Dilematika Antara Kekerasan Atau Kebebasan?

Yang menjelma menjadi manusia-manusia baru yang menciptakan warna baru dalam sejarah bangsa dan negara ini sehingga akhirnya semangat revolusioner mereka dapat diadopsi oleh generasi-generasi yang akan datang—sekarang dan nanti.

Add a comment

Tinggalkan Balasan

Prev Next
Hidupkan Notifikasi OK No thanks